Tanjungpinang (ANTARA) -
Awal Maret dua tahun lalu, masyarakat Indonesia masih seperti terkurung, bukan sebagai tahanan perang, bukan pula akibat melanggar hukum.

Musuh yang tidak terlihat menyebabkan masyarakat harus mengurung diri di rumah atau di tempat sunyi lainnya. Pemerintah pun mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial agar musuh yang diberi nama COVID-19 tidak menyebar luas.

Berbagai kebijakan dan sanksi diberlakukan untuk memaksa masyarakat tetap di rumah. Stay at home sebuah istilah yang belakangan menjadi tren, bahkan iklan di sejumlah produk pun menyebar luas.

Di Kepri, sama seperti daerah lainnya. Pembatasan sosial di seluruh sektor kehidupan kala itu belum mampu membendung virus mematikan itu, menyerah. Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan Indonesia harus mampu hidup berdampingan dengan COVID-19.

Awal Mei 2020, pertama kali Presiden Indonesia mengeluarkan istilah "new normal". Para ahli pun mengeluarkan pendapat istilah itu sebagai langkah hidup berdampingan atau berdamai dengan COVID-19.

Kepala LBM Eijkman Prof Amin Soebandrio berpendapat, "new normal" lebih tepat diaplikasikan sebagai hidup berdampingan dengan COVID-19, dibanding berdamai dengan virus itu. Pendapat itu diperkuat dengan keyakinannya bahwa COVID-19 tidak akan lama berada di muka bumi.

Sementara pemerintah cenderung menggunakan istilah itu sebagai era kebiasaan baru.

Pemerintah mengambil keputusan "new normal" sebagai langkah percepatan penanganan COVID-19 dalam berbagai sektor kehidupan. Skenario hidup berdampingan dengan COVID-19 ternyata tidak meredup "kemarahan" musuh yang tak kasat mata itu.

Kasus aktif COVID-19 seperti gelombang laut, terkadang surut dan terkadang tinggi hingga akhirnya muncul istilah "gas dan rem".

Istilah baru itu muncul setelah muncul gejolak sosial akibat permasalahan perekonomian melanda Indonesia, termasuk Provinsi Kepulauan Riau.

Dari catatan tahun 2020-2021, kasus aktif COVID-19 kerap membludak menjelang hingga setelah perayaan hari besar keagamaan. Contohnya, Ramadhan hingga Idul Fitri.

Akibatnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan sosial agar umat Islam shalat tarawih dan salat Idul Fitri di rumah. Momentum setahun sekali untuk bersilahturahmi dengan keluarga, saudara, tetangga dan teman-teman juga hilang di saat lebaran.

Bersamaan dengan itu, sosialisasi dan iklan berlebaran secara daring pun bermunculan.

Di Kepri, kebiasaan kehidupan baru dijalankan warga tanpa konflik. Seruan dan ajakan untuk memutus rantai penularan COVID-19 mendapat sambutan positif, meski cukup banyak menyisakan kisah-kisah dramatis.

Erlan, salah seorang warga Tanjungpinang, ibu kota Kepulauan Riau, contohnya. Dalam dua kali Lebaran, ia tidak dapat mengunjungi orang tuanya, meski berada dalam satu kota.

Bahkan untuk bersalaman dan memeluk orang tuanya yang sudah lansia juga tidak dapat dilakukan semata-mata menjaga mereka agar tidak tertular COVID-19.

Erlan bersama istri dan dua anaknya pernah tertular COVID-19. Mereka semua bergejala, dan membutuhkan waktu cukup lama untuk sembuh.

Kisah lainnya dari Yanto, warga Kabupaten Bintan, Kepri. Yanto bekerja sebagai anggota TNI, yang setiap hari tetap beraktivitas di kantornya.

Yanto, harus mandi di teras rumahnya sebelum masuk ke dalam rumah. Begitu pula istri dan anak-anaknya, wajib membiasakan diri membersihkan diri sebelum masuk ke dalam rumah.

Joni, salah seorang pedagang di Karimun juga harus membersihkan diri sebelum masuk ke dalam rumah. Ia merasa seperti ada jarak antara dirinya dengan anak-anak karena rasa takut yang berlebihan.

Informasi dan berita yang setiap hari dibaca dan ditonton keluarga Joni, membuat mereka panik. Saat flu atau batuk, Joni merasa tidak hanya dijauhi oleh anak-anak dan istrinya, melainkan juga teman-temannya.

Sekretaris Satgas Penanganan COVID-19 Kepri, Muhamad Darwin, sejak tahun 2020-2021 selalu menghindari orang-orang yang baru pulang dari luar daerah. Hal itu disebabkan jumlah orang yang tertular COVID-19 setelah ke luar daerah, cukup banyak.

Darwin juga pernah terinfeksi COVID-19, meski tidak bergejala. Namun ia tidak mengetahui tertular dari siapa.

Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Kepri Tjetjep Yudiana, kerap menghindari keramaian. Tjetjep juga tidak akan menghadiri rapat satgas bila rapat di ruangan tertutup dengan jumlah orang yang banyak.

Tjetjep kerap mengajak wartawan melakukan razia di berbagai lokasi keramaian, dan menyosialisasikan protokol kesehatan.

Kebiasaan baru yang dilakukan sejak pandemi COVID-19 juga mengiringi kehidupan Kepala Dinas Kesehatan Bintan, Gama AF Isnaeni. Di setiap awal dan akhir percakapan, Gama kerap menyampaikan salam sehat.

Gama juga pernah terinfeksi COVID-19, dan bergejala. Padahal ia ketat menerapkan protokol kesehatan.

Direktur Utama PT Bintan Alumina Indonesia, Santoni, menjadi sering mengimbau orang-orang yang berinteraksi dengannya agar menerapkan protokol kesehatan dan menghindari kerumunan massa. Santoni melakukan itu setelah merasakan sendiri kondisi tubuhnya pernah memburuk setelah tertular COVID-19.

Baca juga: Polda Kepri bagikan 1.500 paket berbuka puasa

Baca juga: ACT Kepulauan Riau salurkan ratusan takjil setiap hari


Buka Puasa Bersama

Kisah dramatis selama pandemi COVID-19 tahun 2020-2021, kini sudah tidak terdengar lagi.

Kondisi sosial masyarakat sejak tahun 2022 seperti kembali normal. Orang-orang yang biasanya super ketat melakukan protokol kesehatan di rumah dan di luar rumah, sudah merasa lebih bebas, meski tetap waspada.

Ramadhan 1443 Hijriah tahun ini sebagai wujud dari pernyataan "new normal" dua tahun lalu yang disampaikan Presiden Joko Widodo. Masjid, rumah makan, pasar, hotel, swalayan dan tempat wisata mulai ramai dikunjungi warga.

Mobilitas dan aktivitas penduduk pun semakin tinggi.

Umat Islam tidak lagi menunaikan shalat wajib maupun salat tarawih di rumah. Mereka melaksanakan shalat di masjid.

Rumah makan dan restoran hotel pun sudah menyajikan paket berbuka puasa, dengan harga yang variatif. Bahkan sejumlah restoran hotel Tanjungpinang, Bintan dan Batam sudah penuh menerima orderan untuk paket berbuka puasa.

Contohnya, Hotel CK dan Hotel Aston di Tanjungpinang, sejak awal Ramadhan sudah penuh orderan. Begitu pula restoran di Harris Hotel, Batam.

Di sisi lain, berbuka puasa tahun ini merupakan agenda yang tertunda sejak dua tahun lalu.

Salah seorang pengusaha rumah makan di Tanjungpinang, Adi, mengatakan tahun 2020, usahanya tutup total. Tahun 2021 mulai beraktivitas kembali, namun konsumen tidak ramai.

Ramadhan tahun 2021, Adi mengatakan tetap membuka usahanya hingga malam hari, meski dilarang pemerintah. Konsumen terpaksa duduk di meja dengan lampu redup agar tidak terlihat Satgas Penanganan COVID-19 saat razia.

Tahun ini, Ramadhan membawa berkah. Seluruh karyawannya kembali aktif bekerja karena ramai konsumen.

Martha, salah seorang warga Tanjungpinang mengatakan buka puasa bersama alumni SD pada Ramadhan kali ini penuh suka cita. Sejumlah teman-temannya yang tinggal di berbagai daerah, ikut meramaikan buka puasa bersama di Tanjungpinang.

Begitu pula dengan Kepala Badan Pendapatan Daerah Kepri Reni Yusneli. Hampir setiap hari ia menerima undangan untuk berbuka puasa bersama keluarga, tetangga, rekan kerja dan teman-temannya.

Reni pun menjadikan momen berbuka puasa kali ini sebagai rahmat dari Allah agar kehidupan masyarakat kembali normal.

Anggota Komisi II DPRD Kepri Rudy Chua mengatakan perekonomian Kepri bangkit setelah masyarakat beraktivitas. Keberhasilan ini harus diikuti dengan tekad masyarakat untuk tetap menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas.

Ketua Harian Satgas Penanganan COVID-19 Kepri Eko Sumbaryadi mengimbau masyarakat tidak euforia terhadap kasus aktif COVID-19 yang turun, melainkan harus tetap tingkatkan kewaspadaan dengan menerapkan protokol kesehatan.

Saat ini, kasus aktif COVID-19 tinggal 44 orang. Kepri ditetapkan sebagai Zona Kuning atau risiko penularan rendah.

Baca juga: Polisi jamin keamanan Ramadhan di Kepulauan Riau

Baca juga: Harry Azhar Azis rindu puasa di Tanjungpinang

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022