Jakarta (ANTARA News) - Kepemimpinan Indonesia sangat diharapkan oleh negara-negara pendiri ASEAN terutama untuk meletakkan dasar-dasar bagi perjalanan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu di masa mendatang, kata peneliti Tim Kajian ASEAN dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth.

"Meskipun keketuaan Indonesia di ASEAN bersifat bergilir, tetap saja kepemimpinannya sangat diharapkan oleh negara-negara pendiri ASEAN," kata Adriana kepada ANTARA di Jakarta, Minggu.

Ia memberikan pandangannya berkaitan dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-19 di Bali dan keketuaan Indonesia dalam ASEAN yang akan usai pada akhir 2011.

ASEAN merupakan organisasi geo-politik dan ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara, yang didirikan di Bangkok, pada 8 Agustus 1967 melalui Deklarasi Bangkok oleh Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand. Kini ASEAN beranggota Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam.

Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan pengembangan kebudayaan negara-negara anggotanya serta memajukan perdamaian di tingkat regionalnya.

Adriana mengatakan, selama 2011, beberapa kemajuan telah dicapai di ketiga pilar ASEAN; pilar politik keamanan, ekonomi dan sosial budaya.

Pilar politik keamanan ASEAN mengalami perkembangan positif sehubungan dengan penyelesaian konflik antara Kamboja dan Thailand, kesepakatan ASEAN mengenai kawasan bebas senjata nuklir (SEANWFZ) serta penyelesaian konflik di Laut China Selatan.

Selain capaian tersebut, katanya, pilar politik keamanan ASEAN akan meliputi, antara lain, manajemen konflik terkait dengan keinginan Indonesia untuk membentuk "ASEAN Institution for Peace and Reconciliation (AIPR)", politik Myanmar sehubungan dengan tekanan internasional kepada pemerintah Myanmar untuk menggunakan ASEAN dalam penyelesaian konflik domestik, transparansi kebijakan pertahanan dan kerja sama industri pertahanan, "peace-keeping center network", masalah visa bersama, "ASEAN Declaration on Human Rights" dan cetak biru Komunitas Politik Keamanan ASEAN.

Sementara itu, di pilar ekonomi ASEAN, agenda dalam KTT ke-19 ASEAN mencakup persoalan pemerataan ekonomi terkait dengan pengembangan Usaha Kecil Menengah serta integrasi dan daya saing ekonomi ASEAN.

Sedangkan pilar sosial budaya memiliki agenda mencakup, antara lain, masalah kesatuan ASEAN, pencegahan dan penanganan HIV/AID dan penanggulangan demam berdarah, masalah bantuan kemanusiaan, perlindungn bagi penyandang cacat, hak-hak perempuan, perlindungan terhadap pekerja migran, pendirian "ASEAN Language Center" dan pembentukan badan sektoral baru, seperti olah raga.

Agenda KTT mendatang

Adriana berpendapat, tampaknya setumpuk agenda dalam KTT ASEAN mendatang masih jauh dari harapan untuk mewujudkan "people-centeredness" ASEAN.

Pertama, ASEAN masih akan menjadi asosiasi regional yang fokus pada isu-isu politik dan keamanan secara formal, bukan pada penanganan dampaknya, seperti konflik kekerasan/bersenjata yang masih terjadi di banyak negara ASEAN yang mengakibatkan korban masyarakat awam.

Sementara isu politik dan keamanan masih bersifat super sensitif dan kesepakatan tertinggi di ASEAN masih berpegang teguh pada prinsip kedaulatan negara dan tidak mencampuri urusan negara lain.

Kedua, sebagian besar masyarakat ASEAN merupakan korban kebijakan elit di ketiga pilar ASEAN. Masyarakat sebagai korban konflik kekerasan, menjadi kelompok marjinal sebagai dampak kesepakatan perdagangan bebas yang sangat pro pasar, kemudian menghasilkan ketimpangan pembangunan, pengangguran dan kemiskinan.

Apalagi ditambah dengan masalah perubahan iklim global dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin masif, maka masyarakat ASEAN cenderung semakin rentan.

Ketiga, kalau masyarakat ASEAN belum dijadikan pusat pembangunan ASEAN, maka ASEAN akan tetap menjadi organisasi elit, karena proses pembangunan ASEAN tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara substansial yang mampu membangun kesadaran mengenai eksistensi dan manfaat ASEAN bagi mereka.

"Kalau demikian kondisinya, maka cita-cita Indonesia untuk membawa ASEAN Community ke dalam `global community of nation` akan memerlukan waktu yang lebih lama lagi," kata peneliti itu.

Hal ini karena keberhasilan suatu kawasan bukan hanya ditentukan oleh kemajuan secara fisik dengan ukuran-ukuran yang tangible, melainkan juga kemajuan non-fisik, seperti kesadaran dan kebanggaan masyarakat ASEAN (we feeling) terhadap kawasannya karena mereka mengenal ASEAN dengan sungguh-sungguh serta mendapatakan manfaat yang optimal dari eksistensi ASEAN sebagai kawasan yang semakin dinamis.

(M016/S023)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011