Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Karena sudah sangat piawai merespons masalah, para pemimpin ASEAN menjadi semakin lihai pula dalam merespons pertanyaan-pertanyaan kritis dari media, baik dalam maupun luar negeri.

Ricky Carandang dari Filipina misalnya.  Menteri Komunikasi Filipina yang juga mantan penyiar televisi terkenal di negerinya berulang kali harus meluruskan kesan negatif media terhadap manuver politik Presiden Benigno Aquino dalam isu Laut China Selatan.

"Mengapa negeri Anda berbeda dari negara-negara ASEAN lainnya dalam menyikapi langkah AS membangun pangkalan di Australia? Apa ini indikasi ada keretakan di ASEAN?" tanya seorang wartawan asing.

Dengan licin Carandang menjawab, "Saya kira dalam ASEAN adalah biasa jika kita memiliki perspektif berbeda mengenai isu-isu berbeda dalam waktu yang berbeda."

Dia mengatakan, ASEAN selalu mengedepankan berbicara antarsesamanya, mengenai hal apa pun.

"Saya kira kalau kita berbeda pandangan itu bukan berarti kita sedang berselisih," katanya lagi. "Saya percaya ASEAN tetap kuat."

Mengenai sikap negaranya terhadap sikap ASEAN dalam menghadapi manuver China di Laut China Selatan, Carandang menjawab ASEAN tidak mengharamkan anggotanya berbeda suara.

"Kami yakin jika kami berbicara lebih sering satu sama lain, justru akan membuat kami (ASEAN) kuat," katanya berkelit.

Saat didesak wartawan, mengapa Presiden Benigno Aquino terlambat datang sehingga tak menghadiri pembukaan dan sesi foto bersama dengan para pemimpin ASEAN lain yang menjadi simbol kerukunan dan solisdaritas ASEAN, Carandang menjawab hal itu tak perlu dimasalahkan.

"Ada masalah-masalah domestik," katanya menunjuk alasan yang membuat Presiden Aquino dan Menteri Luar Negeri Albert del Rosario "terlambat" mengikuti acara pembukaan KTT ASEAN ke-19.

Lain lagi dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa yang walau kerap berbicara dalam intonasi yang datar, tapi sering artikulatif dan tandas.

Saat ditanya soal sama di Laut China Selatan mengenai cara ASEAN "berbicara" dengan China, Marty mengatakan ASEAN ingin mendahulukan berbicara, ketimbang membuka sikap yang konfrontatif.

Marty tidak menyanggah bahwa ASEAN berusaha bersikap pragmatis dalam banyak isu, termasuk pada soal saling klaim kepemilikan teritorial di Laut China Selatan. Tapi, sikap pragmatis itu diakui Marty adalah demi keutuhan, stabilitas dan perdamaian di Asia Tenggara juga.

Marty juga memberi pesan kepada dunia bahwa ASEAN tidak ingin tertarik atau ditarik dalam pusaran perebutan pengaruh antarkekuatan besar kawasan dan dunia.

Dia menambahkan, ASEAN mengutamakan berdialog dan diplomasi.  Meski begitu, manuver ini bukan berarti ASEAN lemah.

Dalam soal China, Marty seolah ingin memesankan "sikap di tengah" ASEAN yang tidak memberikan pesan yang keras kepada China, tetapi juga menegaskan posisi independen ASEAN terhadap negara itu.

Dia menyebut China --yang menjadi sasaran kritik media Barat dan dibidik kekuatan besar-- selama ini menjadi mitra dialog yang seimbang.

"Kami ingin segalanya berjalan lancar," kata Marty, menepis kritik media Barat atas sikap ASEAN kepada China yang dianggap media Barat lemah.   

Lalu, ketika seorang wartawan asing meminta klarifikasi atas apa yang disebut wartawan itu sebagai kritik Marty terhadap penempatan pasukan marinir AS di Darwin, Australia, dia menjawab, "Saya kira itu adalah soal persepsi dari sebagian orang (media)."

Pernyataannya ini tidak menyanggah atau membenarkan laporan media yang menyebutkan dia mengritik kesepakatan pertahanan antara AS dan Australia itu.

Kala itu Marty berkata, "Yang tidak saya sukai adalah kesepakatan itu memancing reaksi dan reaksi balasan yang akan menciptakan ketegangan dan ketidakpercayaan."  

Jawaban Marty atas kritik si wartawan asing itu mungkin memesankan bahwa "jangan memperkeruh suasana yang diyakini semua ASEAN sudah baik" dengan hal-hal yang juga mempertaruhkan hubungan baik ASEAN dengan mitra-mitra kawasannya, termasuk Amerika Serikat, China dan Australia sendiri. (*)

Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011