"Kami tidak dapat menyingkirkan mereka, dan mereka tidak dapat menyingkirkan kami," ujarnya, "jadi, lebih baik kami mengakhiri konflik dan mencari cara agar kami dapat hidup berdampingan."
Teheran (ANTARA) - Teheran dan Riyadh baru-baru ini telah memulai kembali pembicaraan untuk memulihkan hubungan dan meredakan ketegangan regional. Rekonsiliasi hubungan antara dua musuh bebuyutan di kawasan Teluk tersebut patut dijadikan contoh untuk menyelesaikan masalah regional tanpa bergantung pada pihak luar.

Arab Saudi dan Iran terjebak dalam konfrontasi karena faktor agama dan geopolitik. Arab Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada awal 2016 sebagai bentuk protes atas serangan terhadap misi diplomatik Saudi di Iran menyusul eksekusi seorang ulama Syiah yang dilakukan oleh Saudi.

Perselisihan antara dua negara di kawasan Teluk tersebut menciptakan peluang bagi pihak-pihak luar untuk melakukan intervensi. Amerika Serikat (AS) berupaya tanpa henti untuk mengacaukan kawasan itu, antara lain dengan memecahnya menjadi kubu pro dan anti-AS atau pro dan anti-Iran.

Sebagai contoh, pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump menjual senjata AS ke Arab Saudi dan negara-negara di Teluk Arab lainnya dengan menggambarkan Iran sebagai ancaman terbesar di kawasan tersebut.

Namun, lanskap geopolitik yang berubah dengan cepat telah mendorong negara-negara Timur Tengah untuk mempertimbangkan kembali hubungan mereka dengan AS. Pembicaraan Iran-Arab Saudi merupakan sebuah langkah ke arah tersebut.
 
Gedung Capitol dan rambu berhenti terlihat di Washington DC, Amerika Serikat, pada 13 Februari 2020. (Xinhua/Liu Jie)


Upaya dialog menjadi kepentingan Iran dan Arab Saudi, dan bahkan seluruh kawasan itu. Kedua negara, yang saling berhadapan satu sama lain dan dipisahkan oleh perbatasan maritim di kawasan Teluk, merupakan "tetangga untuk selamanya," seperti yang disampaikan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman Al Saud pada Maret.

"Kami tidak dapat menyingkirkan mereka, dan mereka tidak dapat menyingkirkan kami," ujarnya, "jadi, lebih baik kami mengakhiri konflik dan mencari cara agar kami dapat hidup berdampingan." Dalam pernyataannya, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir Abdollahian belum lama ini mengatakan, "Kami memiliki pandangan dan pendekatan yang berbeda terkait beberapa isu di kawasan tersebut. Namun, pengelolaan perbedaan oleh kedua belah pihak dapat melayani kepentingan kedua negara."

Sementara itu, dialog antara kedua negara diharapkan secara luas dapat meningkatkan keamanan di Timur Tengah, meredakan ketegangan, dan memperluas keterlibatan dan rekonsiliasi regional.

Kendati demikian, para politisi dan analis AS masih menerapkan kerangka "menang dan kalah (zero-sum)" di Timur Tengah, seraya meyakini bahwa negara-negara lain dapat mengisi "kekosongan kekuasaan" yang ditinggalkan AS di kawasan itu.
 
Foto dokumentasi ini menunjukkan Presiden AS Joe Biden meninggalkan Gedung Putih di Washington DC pada 8 Maret 2022. (Xinhua/Ting Shen


Negara-negara di kawasan tersebut, sudah bosan dengan intervensi pihak luar, yang membuat Washington gelisah.

Mereka lebih memilih membuat keputusan mereka sendiri berdasarkan politik internasional yang rumit dan selaras dengan kepentingan mereka. Inilah alasan kenapa para pemimpin Uni Emirat Arab (UEA) menerima lawatan Presiden Suriah Bashar al-Assad pada Maret lalu kendati mendapat penentangan dari AS, dan pemimpin Saudi dan UEA dikabarkan menolak panggilan telepon Presiden AS Joe Biden selama krisis Ukraina.

Intervensi yang dilakukan secara berulang dari negara-negara besar non-regional di Timur Tengah telah merugikan kawasan tersebut dan warganya. Untungnya, saat Timur Tengah mulai menangani urusan mereka sendiri, campur tangan Washington menjadi semakin tidak populer. Ruang manipulasi yang dilakukannya kian menyempit.
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Atman Ahdiat
Copyright © ANTARA 2022