Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Percaturan politik dunia selalu dianggap keras dan sengit tanpa ada jeda barang sebentar untuk menunjukkan sisi lembut diplomasi. Sebenarnya, ada cukup banyak ajang untuk menyaksikan kelembutan diplomasi itu mampu mencairkan kekerasan itu. Contoh paling mutakhir adalah saat santap malam kenegaraan seusai KTT ASEAN+ di Nusa Dua, Bali, Jumat malam.




Belasan tamu negara setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan menjadi tamu Presiden Susilo Yudhoyono sebagai tuan rumah, yang didampingi Ibu Negara, Ani Yudhoyono. Tamu pertama yang hadir di arena makan malam, Ruang Nusa Dua, Bali Nusa Dua Convention Centre, adalah Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei Darussalam. Tamu terakhir adalah Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, yang datang sendiri tanpa istrinya, Michelle. 




Di antara mereka ada banyak pemimpin ASEAN dan negara-negara mitra, ditambah Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, yang datang bersama istrinya. Laiknya pertemuan puncak, pasti ada isu sentral yang menjadi jangkar utama pertemuan itu. Kali ini adalah aspek pertahanan-keamanan, ekonomi dan bisnis, serta budaya sebagai kekuatan lunak.




Pada tataran ASEAN, masalah klaim kepemilikan Laut China Selatan atau perairan di Kepulauan Spratly alias Laut Filipina Barat melibatkan empat negara, yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina, dan Viet Nam. Tiga negara pertama adalah negara-negara pendiri ASEAN pada 1967, yang bersama Indonesia dan Thailand saat itu menyadari bahwa kawasan Asia Tenggara harus dijauhkan dari konflik bersenjata. Masa-masa itu bisa dibilang adalah "masa perjuangan" bagi banyak negara di Asia Tenggara, bahkan Kamboja, Laos, dan Thailand terimbas Perang Viet Nam yang baru berakhir bertahun-tahun kemudian.




Kesimpulan saat itu, jika keamanan tidak terjamin maka stabilitas kawasan pasti terganggu. Jika sudah begitu, bagaimana bisa membangun negara dan kawasan? Padahal Kawasan Asia Tenggara sangat subur, kaya sumber daya alam, dan berposisi strategis luar biasa. Kalau tidak strategis, tidak mungkin Amerika Serikat membangun beberapa pangkalan militer di sana, contohnya Subic dan Clark di Filipina atau Pangkalan Udara Utapao dan Than Son Nyut di Thailand.




Dalam perjalanan waktunya, kemudian terciptalah dokumen Bali Concord I, Bali Concord II, dan kini Bali Concord III. Upaya mencari jalan damai konflik dengan cara ASEAN sendiri juga sering dilakukan, di antara yang paling terkenal adalah Jakarta Informal Meeting I dan II di Istana Bogor, yang mendamaikan faksi-faksi berkonflik di Kamboja, yang saat itu dipimpin Raja Sihanouk dan melibatkan faksi yang dipimpin (kini perdana menteri) Hun Sen.




Dalam aspek kekinian, pertempuran memakai AK-47 versus M-16 --simbol alat perang buatan Timur dan Barat-- pada Perang Viet Nam, sudah berubah. Kini pertempuran ada pada aspek ekonomi dan bisnis dalam berbagai bungkusannya. Yang menarik, tiap sesuatu terjadi pada satu negara di kawasan, pasti berimbas pada kawasan itu secara langsung yang menular ke komunitas dunia.




Yunani mengalami kebangkrutan fundamental ekonominya yang menyeret negara-negara zona euro untuk menalangi beban hutang negara dengan peradaban tua di dunia itu. Tidak usah jauh-jauh, banjir berkepanjangan di Thailand diakui negara-negara investor besar ASEAN, ikut memukul industri manufaktur di kawasan itu. 




Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, mengatakan dalam pidato kunci Forum Bisnis ASEAN, bahwa ekonomi itu adalah bisnis dan bisnis itu adalah ekonomi. Amerika Serikat sendiri juga bukan tanpa dasar menyatakan hal itu, karena jiwa kewirausahaan telah merasuk pada banyak anak bangsanya. Namun kini negara itu sedang turun drastis perekonomiannya, kalau bukannya sedang berdarah-darah dengan tingkat pertumbuhan cuma 1,8 persen hingga kuartal keempat tahun ini.




KTT Asia Timur menjadi seri pertemuan puncak yang langsung dilaksanakan setelah KTT Ke-19 ASEAN. Dalam KTT Asia Timur kali ini, ada yang istimewa yaitu kehadiran untuk pertama kalinya Amerika Serikat dan Rusia. China telah lebih dulu memastikan kehadiran perdana menterinya, Wen Jiabao, sedangkan Presiden Rusia, Dmitri Medvedev, batal hadir sementara Presiden Barack Obama dari Amerika Serikat mendarat paling akhir di Bali.




Indikasi kepentingan ASEAN bagi negara-negara penentu utama perekonomian dunia itu --juga India, Jepang, dan Korea Selatan di Asia serta Australia dan Selandia Baru di Pasifik Barat-- tercermin dari kehadiran Jiabao dan Obama di Bali. China punya satu cara tersendiri agar ASEAN tidak lepas selera dari mereka setelah CAFTA membuat barang-barang buatan China membanjiri pasar ASEAN; yaitu berupa peluncuran atau peresmian Pusat ASEAN-China di sela KTT ASEAN+.




Amerika Serikat tidak memiliki instrumen serupa untuk ASEAN, namun ada "kartu truf" yang jika dikeluarkan pasti menimbulkan reaksi, yaitu kekuatan militer. Dari Australia ada kabar bahwa Amerika Serikat berkehendak menempatkan 2.500 personel Korps Marinir-nya di Darwin, Australia. Ini terjadi sebagai salah satu hasil kunjungan resmi Obama kepada koleganya, Perdana Menteri Australia, Julian Gillard.




Pertemuan bilateral Indonesia dan Amerika Serikat di Bali membahas juga hal itu, yang dikatakan bahwa hal itu ada dalam konteks hubungan bilateral Amerika dan Australia. Dunia telah sangat paham dengan kelakuan Amerika Serikat di mana-mana yang diketahui selalu menggelar kekuatan militer demi kepentingan ekonomi atau sumber daya alam yang mereka perlukan.




Meredam kekhawatiran hal ini, Amerika Serikat "berkomitmen" memperluas dan memperdalam kerja sama militer dengan negara-negara mitranya. Indonesia berada pada posisi silang yang paling depan berhadapan dengan sejumlah resiko itu, dan memiliki mekanisme kerja sama strategis dengan Australia dan Amerika Serikat. Ini kiranya menjadi solusi paling realistis dan nyaman bagi semuanya.




Jadi, jika Obama dan Jiabao bisa duduk semeja dalam santap makan malam kenegaraan di Nusa Dua, Bali, pada Jumat malam, maka bisalah dikatakan bahwa pertemuan para pemimpin bangsa itu menjadi ajang pengakuan bahwa ASEAN semakin signifikan pada masa kini dan ke depan. (*)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011