Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa meminta semua Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di Yaman untuk terus berkomunikasi dengan pihak KBRI setempat, sehingga kondisi mereka bisa terpantau di tengah kerusuhan yang sedang terjadi di negara itu.

"Dianjurkan untuk senantiasa berkomunikasi dengan KBRI kita untuk bisa memastikan mereka tetap aman dan nyaman," kata Marty ketika ditemui di komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis.

Menurut dia, keadaan di Yaman terus berubah atau penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, komunikasi yang intensif adalah salah satu cara yang tepat untuk memastikan keselamatan WNI.

Marty mengonfirmasikan mengenai dua mahasiswa Indonesia yang turut menjadi korban dalam suatu bentrokan di sebuah universitas di Yaman.

Dua WNI tersebut sedang mengenyam pendidikan di perguruan tinggi agama di Provinsi Saada, yang terletak di barat laut Yaman dan perbatasan Arab Saudi. Mereka dilaporkan tewas dalam sebuah serangan bom ke kampus mereka.

Menurut Marty, KBRI langsung mengimbau WNI untuk meninggalkan tempat kejadian dan akan difasilitasi untuk kembali ke Indonesia.

"Namun, kadangkala memang mereka mengikuti juga apa ynag menjadi arahan dari pimpinan kampusnya itu," kata Marty.

Pemerintah Indonesia, menurut Marty, melakukan proses evakuasi secara bertahap terhadap sekitar 100 Warga Negara Indonesia yang sedang menuntut ilmu di Yaman.

"Ada kurang lebih 100 WNI yang sedang belajar di perguruan tinggi (di Yaman). Selama ini pemerintah Indonesia sudah melakukan proses evakuasi secara bertahap terhadap warga negara kita dari Yaman," ujarnya.

Ia mengatakan bahwa proses evakuasi dilakukan berdasarkan perkembangan dan kondisi di negara tersebut.

Marty mengaku salah satu kendala yang dihadapi dalam proses evakuasi adalah keberadaan WNI yang menyebar di sejumlah kota dan banyak di antaranya yang tidak terdaftar.

"Warga kita tersebar di beberapa kota, dan banyak juga yang tidak mendaftarkan diri," ucapnya.

Dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah konflik terbuka terjadi di Yaman yang salah satunya menuntut penyelenggaraan pemilihan umum guna menggantikan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah setuju untuk mundur, mengakhiri 33 tahun masa pemerintahannya, setelah 10 bulan demonstrasi.

Salah satu konflik itu adalah antara gerilyawan Syiah, Houthi, dan gerilyawan Sunni, Salafi. Anggota-anggota kelompok Zaidi dari Islam Syiah, gerilyawan Houthi, telah memimpin pemberontakan di provinsi Saada di utara, di mana pasukan Saleh telah berjuang untuk menghancurkan mereka, dengan campur tangan Arab Saudi secara militer pada 2009 sebelum gencatan senjata diadakan pada tahun berikutnya.

Houthi, yang secara efektif menguasasi Saada, telah meningkatkan kewaspadaan terhadap kepercayaan Salafi Sunni Arab Saudi yang menganggap penganut Syiah sebagai orang-orang bid`ah.

Kekerasan baru itu menekankan risiko perang saudara di negara yang berbatasan dengan pengekspor minyak terbesar dunia, Arab Saudi. Washington dan Riyadh mengkhawatirkan kekosongan politik di Yaman dapat memicu kebangkitan sayap Al Qaeda Yaman dan kemungkinan mengancam pasokan minyak.
(T.F008/C004)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011