Cikarang, Bekasi (ANTARA News) - Dinas Pertanian Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, mencatat luas hutan lindung di wilayahnya terus mengalami menyusutan karena sudah beralih fungsi menjadi tambak dan permukiman warga.

Kasi Bina Usaha DPPK Kabupaten Bekasi, Yudianhar, di Cikarang Jumat mengatakan, hutan lindung tersebut berada di pesisir pantai utara, dan setiap tahun menyusut karena tergerus banjir dan air pasang (rob).

"Karena sudah tidak ada lagi pohonnya, masyarakat setempat kemudian memanfaatkannya menjadi tambak dan permukiman," tambahnya.

Menurutnya, alih fungsi hutan lindung tersebut tidak terkendali dan dilakukan besar-besaran sejak 40 tahun lalu. Secara bertahap luas hutan lindung yang ada kecamatan Tarumajaya, Babelan dan Muaragembong terus mengalami penyusutan.

Dikatakannya, sepanjang kurun waktu 1943 sampai 1982, hutan lindung yang mayoritas merupakan mangrove seluas 15.444,44 hektare beralih fungsi menjadi tambak/empang dan sebagian kecil menjadi tempat permukiman atau mengalami penyusutan 73 persen.

"Pada tahun 1998, menyusut 27 persen dan tinggal 4.125,96 hektare," katanya.

Ditambahkannya, penyusutan hutan lindung terus berlanjut, pada tahun 1994 menyempit 3.986,56 hektar, dan saat ini tinggal 407,87 hektare.

"Kondisi 407 hektare hutan lindung tersebut saat ini juga sangat memprihatinkan," kata dia.

Yudianhar mengatakan, untuk mengantisipasi semakin parahnya kerusakan hutan lindung ini, DPPK pun berusaha memaksimalkan program menanam pohon. Selama tahun 2010, kata dia, DPPK sudah menanam sekitar 6 juta pohon mangrove. Sedangkan sampai akhir tahun ini ditargetkan 500.000 pohon sudah tertanam.

Selain itu, tambahnya, DPPK juga berusaha mengembalikan lahan hutan lindung yang menjadi tambak kembali pada awal mulanya. Sebab secara hukum, lokasi tambak yang berdekatan dengan laut itu memang statusnya sebagai hutan lindung.

"Kami akan berusaha bagaimana mengembalikan lahan peruntukan hutan lindung ini seperti sedia kala," katanya.

Maraknya alih fungsi lahan pesisir sangat disayangkan oleh Ridwan Arifin dari Lembaga Advokasi dan Informasi Lingkungan Hidup (Elkail).

Menurut Ridwan, hutan lindung di tepian pesisir seharusnya diperuntukan untuk menjaga kesatuan ekosistem dan mencegah abrasi dan entrusi air tanah dan air laut.

"Keberadaan pohon pelindung dapat memusnahkan polutan-polutan kotor limbah yang dibawa oleh air sungai," kata dia.

Ridwan mendesak pemerintah daerah setempat untuk melakukan tindakan tegas dalam rangka mengembalikan hutan lindung di kawasan pesisir pantai.

Sebab, tambahnya, berdasarkan UU No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, keberadaan hutan lindung pesisir harus tetap dipertahankan, setidaknya 100 meter dari bibir pantai.

Hanya saja menurut Ridwan, spirit dari UU tersebut masih eksploitatif, salah satu indikasinya adalah membatasi peran masyarakat dalam pengelolaan lahan dan justeru memberikan celah kepada para pengusaha untuk menguasai daerah pesisir dengan dalih konservasi, revitalisasi dan reklamasi.

"Ada semacam kolusi antara pengusaha dan penguasa dalam pengelolaan wilayah pesisir, padahal efek lingkungannya sangat merugikan, efek sosial ekonominya, masyarakat harus menjadi buruh di atas tanah bekas garapannya sendiri," demikian Ridwan.

(ANT-294/T004)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011