... harus dilakukan pengubahan strategi dan investasi. Kami berinvestasi cukup besar dalam hal fasilitas praproduksi dan produksi selain investasi SDM peneliti...
Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan negara satu-satunya pembuat vaksin, PT Bio Farma (Persero), menyasar Afrika dan Amerika Latin untuk perluasan pasarnya. Selama 15 tahun terakhir ini perusahaan yang berbasis di Bandung itu telah diakui kualitas produknya oleh WHO dan UNICEF selain oleh pemerintah Indonesia.

"Masih terbuka pasar di Amerika Selatan sebagaimana negara-negara Afrika. Ini peluang yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin," kata Direktur PT Bio Farma (Persero), Iskandar, di Jakarta, Rabu.

Pemasaran setelah tahap produksi vaksin di kalangan internasional merupakan hal yang rumit dan penuh dengan regulasi. Semisal tahap perolehan pengakuan oleh WHO, memerlukan waktu beberapa tahun untuk itu. Tahap sebelumnya, tahap produksi dan pengujian pada skala laboratorium juga memerlukan waktu bertahun-tahun.

Jadi, sejak vaksin itu dirancang dan boleh dipasarkan setelah mendapat pengesahan dari WHO dan pemegang otoritas kesehatan satu negara, secara umum memerlukan waktu empat tahun. Di beberapa negara, di antaranya India, kerja sama produksi dan pemasaran vaksin tidak bisa dilakukan begitu saja.

PT Bio Farma (Persero) bisa menembus kerja sama dengan salah satu raksasa vaksin India, Panacea Biotec, walau harus tunduk pada peraturan industri berbasis bioteknologi di negara itu. India mengharuskan pabrikan vaksin mitra internasionalnya untuk menyediakan hanya bahan vaksin setengah jadi, misalnya pada vaksin Novartis 1 bernama Easyfour dan vaksin hepatitis B PHB bernama Ecovac.

Produk jadi vaksin itulah yang kemudian dipasarkan oleh mitra PT Bio Farma. Praktik bisnis vaksin yang kurang-lebih serupa dalam bentuk berbeda-beda banyak dilakukan negara-negara produser vaksin lain.

Untuk menyasar Amerika Selatan dan Afrika, kata Iskandar, sejumlah cara disiapkan perusahaan yang berdiri sejak 1890 itu. "Sebetulnya cara-cara itu juga berlaku umum sesuai kecenderungan dunia saat ini. Kami melaksanakan PKBL sesuai standar internasional berjangka panjang yang terintegrasi dan kebijakan go green secara konsisten, selain tentu saja menyiapkan produk vaksin sesuai keperluan setempat," katanya.

Secara khusus dia mengungkap hasil pertemuan kalangan industri vaksin dunia di Seattle, Amerika Serikat, pada Juni lalu. Dalam forum itu delegasi China menyatakan kesiapannya merebut pasar vaksin pada empat tahun ke depan dengan kualitas prima, harga bersaing, dan kontinuitas produksi yang bisa diandalkan.

China memiliki 26 perusahaan pembuat vaksin dari berbagai kelas yang mengisi pasar dunia, sementara Indonesia hanya satu dengan sejumlah alasan tertentu oleh pemerintah. Peta persaingan pasar vaksin dunia akan berubah manakala China benar-benar melakukan penetrasi pasar pada saatnya yang sudah dirintis sejak bertahun-tahun lalu.

Hal serupa juga diungkap pihak Perwakilan Tetap Indonesia di Jenewa, kota di mana WHO dan UNICEF bermarkas besar. Kedua instansi internasional inilah yang menjadi pembeli terbesar vaksin buatan PT Bio Farma (Persero), sementara India pasar terbesar untuk kategori negara.

"Saat itu saga sudah bayangkan bahwa kita harus bermitra dengan China dan harus dilakukan pengubahan strategi dan investasi. Kami berinvestasi cukup besar dalam hal fasilitas praproduksi dan produksi selain investasi SDM peneliti. Yang ideal, kami punya 100 doktor di bidang terkait vaksin ini," katanya.

Salah satu modal utama yang dimiliki Indonesia adalah plasma nutfah utama bahan dasar vaksin yang berlimpah ruah. Sebagai gambaran, dunia selalu menoleh kepada Indonesia saat menyinggung dan mencari pemecahan atas penyebaran virus H1N5 yang jauh lebih berbahaya ketimbang H1N1; keduanya masuk ke dalam genera virus flu burung.

PT Bio Farma, katanya, sangat serius menyiapkan sumber daya manusianya. "Kami lebih suka menyekolahkan peneliti kami yang sudah sangat paham dengan keperluan kami ketimbang langsung merekrut ilmuwan pada tingkat strata tiga yang baru jadi. Inilah, kita juga berhadapan dengan masalah ketiadaan konektivitas antara dunia pendidikan dan riset dengan industri. Seharusnya ini nyambung," katanya. (ANT)

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011