Jakarta (ANTARA News) - Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyambut baik permintaan maaf pemerintah Belanda terkait aksi militer negara itu di Rawagede, Karawang, Jabar, pada 1947.

"Tentu saja menyambut baik keputusan pemerintah Belanda yang sesuai dengan keputusan pengadilan sipil tersebut," kata Julian ketika dihubungi di Jakarta, Jumat.

Julian menjelaskan, sikap Belanda itu adalah itikad baik untuk menjalankan putusan pengadilan. Keputusan itu tentu saja dilakukan atas pertimbangan kemanusiaan.

Dia berharap permintaan maaf Belanda yang kemungkinan akan ditindaklanjuti dengan pemberian kompensasi bisa diterima dengan baik oleh para ahli waris korban.

"Ini adalah wujud ketaatan terhadap hukum," katanya.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mengatakan, permintaan maaf pemerintah Belanda atas aksi militer 1947 yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil di Kecamatan Rawagede, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, merupakan perkembangan penting.

Marty menjelaskan ada proses internal dari Belanda berdasarkan keputusan pengadilan terkait dengan tragedi yang terjadi di Rawagede.

Marty juga berharap para ahli waris korban Rawagede segera merasakan penyelesaian dari tragedi tersebut.

"Bahwa sekarang pemerintah Belanda memilih untuk menindaklanjuti keputusan itu dengan langkah yang sekarang, saya kira ini merupakan perkembangan yang penting. Harapan kita adalah bisa segera diselesaikan sehingga para ahli waris terkait bisa merasakan penyelesaian," katanya.


431 gugur

Pemerintah Belanda secara resmi meminta maaf atas aksi militernya pada 1947 di Desa Balongsari, Kecamatan Rawagede, yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil.

"Hari ini kita mengenang anggota keluarga Desa Balongsari yang tewas 64 tahun lalu saat agresi militer Belanda. Saya atas nama Pemerintah Belanda memohon maaf atas tragedi tersebut," kata Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan saat mengikuti acara peringatan 64 tahun Tragedi Pembantaian Rawagede di Desa Balongsari, Jumat.

Zwaan mengatakan peristiwa Rawagede merupakan hal yang menyedihkan dan sebuah contoh mencolok tentang bagaimana hubungan antara Indonesia dan Belanda pada masa itu (1947) berjalan ke arah yang keliru.

"Anda masing-masing tentu mempunyai cara tersendiri untuk mengatasi kenangan pahit tragedi Rawagede. Saya berharap bahwa dengan bercermin bersama pada peristiwa itu, kita bisa melangkah bersama ke masa depan dan bekerja sama dengan erat dan produktif," kata Zwaan.

Sementara itu, salah satu saksi hidup tragedi Rawagede, Laksmi (90 tahun), yang ditemui saat peringatan 64 tahun Tragedi Rawagede mengatakan dirinya sudah memaafkan Belanda.

Dia juga mengucapkan terima kasih atas kesediaan Belanda membayar kompensasi kepada keluarga korban.

"Saya sudah tua tapi belum punya tempat tinggal tetap. Rencananya uang kompensasi akan saya belikan rumah dan sisanya untuk hidup sehari-hari," kata Laksmi yang saat peristiwa pembantaian terjadi sedang mengandung tujuh bulan.

Pembantaian penduduk di Kampung Rawagede yang terletak di antara Karawang dan Bekasi terjadi pada 9 Desember 1947 saat agresi militer Belanda yang pertama.

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda memburu Kapten Lukas Kustario, komandan Kompi Siliwangi, yang diduga bersembunyi di Kampung Rawagede.

Diduga karena tidak menemukan Kapten Lukas, tentara Belanda pun memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan. Diperkirakan 431 orang meninggal akibat penembakan tersebut.

Kasus ini mulai disidangkan pada 2009 di Mahkamah Internasional Den Haag dengan penggugat sebanyak tujuh janda korban pembantaian, satu anak perempuan korban, dan seorang lelaki yang selamat dari pembantaian.

Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan Pemerintah Belanda bersalah, dan harus bertanggung jawab. Pemerintah Belanda diperintahkan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya. Menurut pengacara korban, jumlah kompensasi per orang sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta.

(F008/A011)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011