Jakarta (ANTARA) - Indonesia merupakan negara rawan bencana, salah satunya karena letak geologis yang berada pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.

Interaksi antarlempeng menghasilkan tumpukan energi dan dapat memicu gempa bumi, yang kemudian memungkinkan terjadinya tsunami.

Selain itu, ada sabuk vulkanik di bagian selatan dan timur Indonesia, yang memanjang dari Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara hingga Sulawesi, yang sisinya berupa pegunungan vulkanik tua dan dataran rendah yang sebagian didominasi oleh rawa-rawa. Kondisi itu sangat berpotensi sekaligus rawan bencana seperti gunung meletus, gempa bumi, banjir dan tanah longsor.

Indonesia juga terletak di wilayah iklim tropis dengan dua musim, yaitu panas dan hujan dengan ciri-ciri adanya perubahan cuaca, suhu dan arah angin yang cukup ekstrim, sehingga rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan.

Belum lagi, aktivitas manusia yang tidak memperhitungkan daya dukung daya tampung lingkungan menambah jumlah risiko bencana. Sehingga sangat perlu membangun dan memperkuat kesiapsiagaan guna menciptakan masyarakat tangguh bencana, terutama di daerah-daerah rawan bencana di Indonesia.

Salah satu upaya penting dilakukan adalah mengembangkan, menetapkan dan menyosialisasikan Standar Nasional Indonesia (SNI) Kebencanaan. Tapi itu saja tidak cukup, karena perlu dilanjutkan dengan pembinaan dan diseminasi informasi serta penerapannya hingga ke akar rumput.

Peran pemerintah daerah yang tanggap bencana, plus infrastruktur pendukung yang sesuai dengan SNI kebencanaan sangat penting untuk menciptakan masyarakat tangguh bencana. Pertanyaannya, apakah SNI kebencanaan itu sudah digunakan dan diterapkan untuk melindungi masyarakat di lokasi rawan bencana?

Baca juga: BSN: SNI Kebencanaan untuk acuan bersama penanggulangan bencana

Baca juga: Indonesia miliki 23 SNI Kebencanaan sejak 2011 hingga 2022


SNI kebencanaan

Sejak 2011 hingga 2022, Indonesia melalui Badan Standardisasi Nasional (BSN) membuat dan menetapkan 23 SNI terkait kebencanaan untuk mendukung upaya penanggulangan dan kesiapsiagaan bencana secara nasional dan di daerah-daerah.

BSN sudah membentuk Komisi Teknis (Komtek) 13-08 yang bertugas untuk merumuskan dan memenuhi kebutuhan SNI di bidang penanggulangan bencana. Komtek tersebut beranggotakan 15 orang sebagai perwakilan dari para pemangku kepentingan.

Menurut Ketua Komtek 13-08 Dr Udrekh yang sekaligus sebagai Pelaksana tugas Direktur Sistem Penanggulangan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Indonesia sebagai negara berkembang pertama di dunia yang menginisiasi dan mengawal penyusunan rangkaian dokumen ISO terkait sistem peringatan dini berbasis masyarakat.

Komtek 13-08 secara aktif merumuskan dan mengembangkan SNI kebencanaan serta menyesuaikan dengan Kerangka Kerja Sendai untuk Pengurangan Risiko Bencana 2015-2030.

Adapun 23 SNI terkait kebencanaan tersebut mencakup SNI 7743:2011 Rambu evakuasi tsunami, SNI 7766:2012 Jalur evakuasi tsunami, dan SNI ISO/PAS 22399:2012 Perlindungan masyarakat - Pedoman untuk manajemen kesiapsiagaan insiden dan kontinuitas operasional Societal security - Guideline for incident preparedness and opeational continuity management (ISO/PAS 22399:2007, IDT).

Selanjutnya, SNI ISO 22300:2012 Keamanan masyarakat Terminologi, SNI ISO 22320:2012 Keamanan masyarakat - Manajemen kedaruratan -Persyaratan untuk penanganan insiden Societal security - Emergency management - Requirements for incident response (ISO 22320:2011, IDT), dan SNI 7937:2013 Layanan kemanusiaan dalam bencana.

Kemudian, SNI ISO 22301:2014 Keamanan masyarakat - Sistem manajemen kelangsungan usaha - Persyaratan Societal security - Business continuity management systems - Requirements (ISO 22301: 2012, IDT), dan SNI ISO 22315:2015 Keamanan masyarakat- Evakuasi massal - Panduan untuk perencanaan Societal security - Mass evacuation- Guidelines for planning (ISO 22315:2014, IDT).

Berikutnya, SNI 8289:2016 Jalur dan rambu evakuasi erupsi gunungapi, SNI 8291:2016 Penyusunan dan penentuan zona kerentanan gerakan tanah, SNI 8040:2017 Sirene peringatan dini tsunami, SNI 8182:2017 Pengkajian risiko bencana tingkat nasional dan provinsi, dan SNI 8235:2017 Sistem peringatan dini gerakan tanah.

Ada juga SNI 8288:2017 Manajemen pelatihan penanggulangan bencana, SNI 8357:2017 Desa dan kelurahan tangguh bencana, SNI 8358:2017 Manajemen pelatihan kesiapsiagaan menghadapi bencana tsunami, SNI 8039:2018 Manajemen pelatihan kesiapsiagaan terhadap bahaya erupsi gunungapi, dan SNI 8751:2019 Perencanaan kontingensi.

Selain itu, terdapat SNI 8840-1:2019 Sistem peringatan dini bencana – Bagian 1: Umum, SNI 8840-2:2020 Sistem peringatan dini bencana – Bagian 2:Tsunami, dan SNI ISO 22301:2019 Keamanan dan ketahanan – Sistem manajemen kelangsungan usaha – Persyaratan Security and resilience – Business continuity management systems – Requirements (ISO 22301:2019, IDT).

Kemudian, SNI 9021:2021 Peralatan peringatan dini gerakan tanah dan SNI 9050:2022 Sistem penanganan bencana epidemi.

Beberapa lembaga termasuk Palang Merah Indonesia (PMI) yang berkegiatan membangun resiliensi komunitas banyak menggunakan SNI 8357:2017 Desa dan kelurahan tangguh bencana sebagai acuan pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi.

Perangkat uji resiliensi juga sudah dibuat dalam bentuk "Perangkat Penilaian Ketangguhan Desa". Uji sudah dilakukan bagi desa-desa sepanjang Pantai Selatan Jawa dan Pantai Barat Sumatera dari Sumatera Barat hingga Aceh.

Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo serta seputar Gunung Merapi dan Gunung Kelud juga sudah menerapkan SNI 8357:2017 untuk melaksanakan program di sebagian besar desa-desanya yang rawan bencana.

Baca juga: BSN kembangkan SNI bangun kesadaran tanggap bencana

Baca juga: Guru Besar: Pengurangan risiko bencana perlu dengan kearifan lokal


Komitmen penuh

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Standar BSN Hendro Kusumo, karena menyangkut aspek keselamatan dan keamanan masyarakat, semua pihak harus memiliki komitmen pada penerapan panduan yang disepakati bersama oleh seluruh unsur pemangku kepentingan, yang berbentuk SNI.

Dengan efektivitas penerapan panduan mitigasi risiko bencana, pendekatan pemberlakuan melalui peraturan daerah, khususnya di daerah yang rawan bencana, menjadi keniscayaan untuk menjamin efektivitas kebijakan juga pembinaan di lapangan.

SNI Kebencanaan bisa langsung dirujuk dalam peraturan daerah untuk mempercepat proses penyusunan peraturan, dan agar dalam pengelolaan respons mitigasi maupun tanggap darurat bencana di tingkat daerah dan nasional, ada ketelusuran dengan ekosistem internasional dan terbentuk keseragaman acuan antardaerah di Indonesia.

Sebagai pembina Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Nasional, BSN senantiasa bersinergi dan berkolaborasi dengan semua unsur pemangku kepentingan, baik di pusat dengan instansi pembina, yakni BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang menjadi ujung tombak pengelolaan bencana, maupun dengan pemerintah daerah.

"Peran BSN sifatnya lebih sebagai pendukung, namun dalam beberapa kasus juga melakukan sosialisasi, edukasi, atau kegiatan lain, khususnya dalam rangka implementasi MoU (kesepakatan bersama) yang telah ada dengan pemerintah daerah," ujar Hendro.

Rencananya, akan ada sosialisasi SNI di lima provinsi dengan Desa Tangguh Bencana (Destana), yakni Kabupaten/Kota Serang di Banten, Gunung Kidul di DI Yogyakarta, Tulung Agung di Jawa Timur, Pangandaran dan Sukabumi di Jawa Barat, dan Kebumen di Jawa Tengah.

Kunci kesuksesan penerapan SNI adalah konsistensi pembinaan atau pendampingan dalam penerapan SNI, di mana untuk tahap awal sebaiknya didukung dengan tersedianya peraturan atau kebijakan sebagai payung program terpadu yang akan menjadi alat monitoring dan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan.

"Semakin tinggi risiko yang kita hadapi, maka kita harus mempertimbangkan setiap kemungkinan kejadian, sehingga dampak terburuk telah diantisipasi atau mitigasi semenjak dini, dengan korban seminimal mungkin," ujar dia.

SNI tersebut menjadikan otoritas lokal, tim siaga dan masyarakat memiliki kesamaan pengertian dan mempunyai panduan baku dalam menangkap peringatan dini dan tanggap bencana sehingga semua bisa bergerak secara bersama-sama mengantisipasi dampak bencana.

Tersedianya SNI sebagai panduan diharapkan dapat memudahkan para pemangku kepentingan dalam mengelola aspek kebencanaan, khususnya untuk mitigasi risiko bencana. Dengan tersosialisasikan dan diterapkannya SNI di tingkat tapak atau daerah, diharapkan terbangun sinergi dan kerja sama untuk menciptakan daerah dan masyarakat tangguh bencana.

Baca juga: Mengenal teknologi mitigasi bencana karya Indonesia

Baca juga: GPDRR dan pentingnya upaya global mengurangi risiko bencana

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022