Jakarta (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mendukung pemerintah untuk meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional.

"Seumpama Statuta Roma diratifikasi, kita tak perlu khawatir manakala pemerintah tak mampu mengadili pelanggaran HAM berat," kata Mahfud saat membuka acara peluncuran buku Hukum Pidana Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional karya Prof DR Muladi SH di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Jakarta, Senin.

Menurut Mahfud, ratifikasi tersebut dapat dijadikan instrumen untuk menyelesaikan masalah jika kedepannya terjadi pelanggaran hak asasi manusia berat.

Mahkamah Pidana Internasional yang didirikan berdasarkan Statuta Roma pada 17 Juli 1998, mengatur kewenangan mengadili kejahatan yang menjadi perhatian internasional, seperti kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Dalam situasi ketika pemerintah tak mampu, Mahfud melihat Mahkamah Pidana Internasional langsung bisa turun tangan, dengan catatan, yurisdiksinya tetap hukum nasional.

Mahfud menjelaskan, ratifikasi penting dilakukan karena tata kelola pemerintahan Indonesia sudah jauh lebih baik dan siap untuk menerima Statuta Roma. Bandingkan pada 1998 hingga 2000 awal, kondisi saat ini sudah jauh lebih kondusif.

"Selama era reformasi pun, hampir tidak terjadi pelanggaran HAM secara terstruktur oleh negara. Kalau pun ada, pelanggaran HAM di Indonesia tak terstruktur dan tak masif. Sifatnya insidental seperti terjadi di penjara, Kepolisian dan TNI. Pelanggaran HAM yang sekarang terjadi justru yang bersifat horizontal, yang dilakukan masyarakat ke masyarakat lain," papar Mahfud.

Ratifikasi Statuta Roma juga untuk menghindari kejadian masa lalu.

Dia melihat, bukan tak mungkin ke depan akan terjadi situasi di mana Indonesia harus membuat atau mengikuti Mahkamah Pidana Internasioanal.

"Kemungkinan bisa terjadi karena mungkin negara ini, pada suatu saat akan dikuasai para diktator yang melakukan pelanggaran berat. Atau, bisa juga negara pada suatu ketika kewalahan menghadapi konflik horizontal dan tak mampu. Kondisi seperti ini membuat Mahkamah Pidana Internasional harus turun tangan. Jadi, ratifikasi harus dilakukan demi hukum dan HAM di negara kita," ujarnya.

Di tempat yang sama, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim menyarankan pemerintah agar meratifikasi Statuta Roma tersebut.

"Kita tidak perlu khawatir yang berlebihan terhadap Statuta Roma tersebut karena tidak serta merta suatu kasus kejahatan internasional bisa dibawa ke Mahkamah Pidana Internasional. Mereka harus melihat dulu usaha yang dilakukan pemerintah negara segera setempat untuk menyelesaikan kasus tersebut. Ada mekanisme yang harus dilalui," ujarnya.

Ratifikasi Roma, tambah Ifdhal, memberikan keuntungan bagi warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri untuk mendapatkan perlindungan secara internasional bila warga itu mendapatkan ancaman.

"Kalau kita tidak menjadi bagian Statuta Roma, maka akan sulit untuk mengakses hal tersebut," katanya.

Muladi di dalam bukunya menyatakan ratifikasi akan meningkatkan reputasi Indonesia di tingkat regional dan internasional.

"Mengingat kepemimpinan Indonesia di Asean saat ini dan status Indonesia sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia," katanya.

Sebanyak 119 negara telah meratifikasi Statuta Roma pada 1998, termasuk Filipina dan Kamboja untuk kawasan Asia Tenggara.

Mahkamah Pidana Internasional dibentuk untuk menyelidiki, menyidik, dan menuntut individu, bukan negara, yang telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat berupa kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi, yang pada hakikatnya merupakan perbuatan-perbuatan yang sangat bertentangan dengan Pancasila.

Muladi menyatakan, Statuta Roma 1998 tentang Mahkamah Pidana Internasional tetap konsisten untuk mempertahankan asas legalitas dalam perumusannya dan menolak pengingkaran terhadap asas nonrekroaktivitas hukum pidana.

(S037/R007)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011