Kami belum memahami kriteria untuk diajukan menjadi SNI
Pekanbaru (ANTARA) - Usai memimpin apel siaga kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di halaman kantor Gubernur Riau di Kota Pekanbaru belum lama ini, Kepala Polda Riau Irjen Pol Mohammad Iqbal melanjutkan kegiatan dengan meninjau sejumlah peralatan pemadaman kebakaran hutan.

Kapolda juga ingin mengetahui fungsi dan kegunaan alat-alat tersebut terutama saat kebakaran hutan dan lahan melanda, terutama di daerah yang sulit dijangkau.

Selama lebih setahun ini, praktis tidak ada kejadian kebakaran hutan dan lahan berdampak besar dan mengganggu hampir segala aspek kehidupan di Bumi Lancang Kuning ini, seperti pada tahun 2015 dan 2018.

Kala itu sekolah diliburkan, para pekerja diistirahatkan, dunia penerbangan dialihkan, dan berbagai aktivitas lainnya yang juga terdampak bencana asap itu.

"Mari kita pertahankan keberhasilan kita mencegah karhutla seperti tahun lalu. Jika semua peduli dan bekerjasama, karhutla pasti bisa kita tangani. Kita ingin langit Riau tetap biru," kata Mohammad Iqbal.

Kemudian disebutkannya, pihaknya juga akan memaksimalkan aplikasi Dashboard Lancang Kuning (DLK).

Aplikasi besutan Polda Riau itu yang sudah dikenal secara nasional dan diadopsi oleh jajaran Polda lain di Indonesia ini dinilai mampu efektif membantu penanggulangan dan penanganan karhutla secara dini.

Aplikasi tersebut antara lain, mampu mendeteksi titik api lebih cepat, memetakan daerah rawan, mengintegrasikan pola komunikasi untuk mobilisasi personel ke titik api untuk pemadaman, dan sebagainya.

Sementara itu, Gubernur Riau Syamsuar menyebutkan, terhitung sejak 1 Januari hingga 31 Maret 2022 ini, total luas lahan yang terbakar ‎di Riau sudah mencapai 168 hektare. Pihaknya sudah melakukan pemetaan daerah-daerah yang rawan Karhutla.

Hingga saat ini Provinsi Riau telah ditetapkan status siaga darurat penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 2022 terhitung mulai tanggal 1 Maret sampai dengan 30 November 2022.

Baca juga: Memperkuat kesiapsiagaan bencana melalui penerapan SNI Kebencanaan

Baca juga: BSN: SNI Kebencanaan untuk acuan bersama penanggulangan bencana


Penanganan karhutla ber-SNI

Saat ini SNI terkait kebencanaan lain yang diimplementasikan di Riau, yaitu Desa dan Kelurahan Tangguh Bencana (Destana), SNI 8357:2017.

Peran pemerintah daerah yang tanggap bencana, plus infrastruktur pendukung yang sesuai dengan SNI kebencanaan sangat penting untuk menciptakan masyarakat tangguh bencana.

Standar dalam membentuk Desa/Kelurahan Tangguh Bencana itu adalah dengan membentuk forum pengurangan risiko bencana (FPRB), forum ini membuat kajian risiko bencana (KRB) skala desa dengan mengidentifikasi risiko, ancaman, kerentanan, dan kapasitas sesuai bencananya.

Selanjutnya, FPRB menyusun Rencana Aksi Desa (RAD) atau Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) mengacu pada KRB yang telah disusun sebelumnya. Kemudian dipresentasikan di hadapan seluruh pemangku kepentingan, baik aparat desa, instansi/dinas terkait, bahkan anggota DPR dari daerah pemilihan desa setempat.

“Hal ini untuk mengatasi permasalahan kebencanaan, baik dari segi teknis maupun pembiayaan. Nanti diwujudkan aksinya itu, bukan sekedar rencana, " ujar 
kata Kepala Seksi Pencegahan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Mitra Adhimukti.

 Contohnya, bila kita membentuk Destana tematik tentang karthutla, aksinya adalah sosialisasi buka lahan tanpa bakar, patroli dan pemadaman dini selama dua hingga tiga bulan, tergantung ketersediaan anggaran," kata Mitra Adhimukti.

Destana yang sudah terbentuk di Riau, yaitu Dumai dan Pelalawan terkait karhutla, serta Kampar dan Siak dengan tematik bencana banjir. "Tahun 2023 direncanakan Destana di Rohil," kata Mitra.

Untuk menentukan SNI diperlukan kriteria khusus. Namun Mitra mengaku belum tahu persis terkait kriteria tersebut, sehingga delapan provinsi yang rawan karthutla juga belum mengetahui SNI terkait tata kelola atau penanggulangan karhutla.

"Jika sudah tahu kriterianya dan dibimbing bagaimana cara menyusunnya, SNI tata kelola penanggulangan karhutla akan dibuat. Masalahnya, kami belum memahami kriteria untuk diajukan menjadi SNI," tuturnya.

Mitra menyebutkan standar SNI juga tak serta merta hasilnya maksimal untuk seluruh daerah, sebab karakteristik bencana di tiap daerah berbeda. Misalnya, erupsi Gunung Merapi berbeda dengan Gunung Sinabung.

Namun, karena ada SNI-nya, secara garis besar aturan tersebut yang akan diikuti.

Badan Standarisasi Nasional (BSN) menetapkan 17 Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang penanggulangan kebencanaan sebagai acuan pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan penanganan bencana, baik mitigasi maupun antisipasi terhadap potensi bahaya yang terjadi.

Dia menyebutkan dari sebanyak 17 SNI itu, di antaranya adalah sistem peringatan dini gerakan tanah, sistem peringatan dini tsunami, manajemen pelatihan kesiapsiagaan terhadap bahaya erupsi gunung berapi, serta sejumlah bencana lainnya.

Bencana karhutla yang terjadi hampir setiap tahun baik di Riau maupun di daerah lainnya di Tanah Air harus sudah memiliki standar pencegahannya agar penanganannya cepat dan tepat.

Mitra Adhimukti menyebutkan selama ini SNI di Riau hanya berupa pemetaan rawan kebakaran hutan dan lahan skala 1:250.000 (SNI 8742-2019), alat pemadam kebakaran hutan-Kepyok/pemukul api-spesifikasi teknis (SNI 7892-2013).

Selain itu, ada alat pemadam kebakaran hutan- Pompa punggung/backpack pump) (SNI 7893-2013), alat pemadam kebakaran hutan- Suntikan gambut (Peat Injector) -Spesifikasi teknis (SNI 7894-2013), dan Alat pemadam kebakaran hutan-Tanki air lipat (collapsible tank-Spesifikasi (SNI 7895-2013). "Belum ada SNI tentang tata kelola atau penanggulangan karhutla," katanya.

Baca juga: Indonesia miliki 23 SNI Kebencanaan sejak 2011 hingga 2022

Baca juga: BSN kembangkan SNI bangun kesadaran tanggap bencana


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022