Tidak ada bagian untuk kerja kayaknya, jadi saya cari kesibukan lain di rumah, menyalurkan hobi dan menghasilkan uang,
Bandung (ANTARA News) - Berlatar belakang atlet bela diri pencak silat yang berkarakter keras,  tidak menjadi masalah bagi mantan pesilat nasional asal Jawa Barat, Budiwati (42) untuk menggeluti usaha fesyen atau pakaian muslim yang jauh dari karakter kekerasan.

Budiwati mengambil sisi keluwesan dan kelembutan `pencak silat` untuk mengembangkan hobi lainnya dalam usaha fesyen.

"Sudah beberapa tahun ini saya kembangkan usaha jahitan, awalnya sekedar hobi namun ternyata teman-teman dan kenalan banyak yang berminat, yah akhirnya keterusan bikin baju muslim," kata Budiwati ketika ditemui di rumahnya di Kompleks Perumahan Unisba XIII Jatihandap Kota Bandung.

Dibantu seorang pekerjanya yang membantu menjahit pakaian khusus pesanan itu, Budiwati sudah merilis label `Shintya` untuk produk baju muslimnya itu. Shintya adalah putri kembarnya buah kasih dengan pelatih silat nasional Maryatno.

Jika melihat latar belakangnya sebagai atlet silat dan jebolan FPOK IKIP Bandung, bagi yang mengenalnya banyak yang terheran-heran karena sangat kotradiksi. Namun ibu dua anak itu tetap asyik menjalaninya meski ia mengaku tidak terlalu agresif dalam melakukan pemasaran.

Meski demikian, pakaian pesanan khusus buatannya itu sudah dikirim ke luar Jabar seperti Bali, Surabaya bahkan ke Kalimantan. Konsumennya adalah teman dekat dan kenalan-kenalannya yang memesan melalui telepon.

"Saya buat dan pakai sendiri baju, teman-teman berminat dan memesan, seperti itu. Ternyata kemudian pemesan menjadi banyak. Bahkan kalau Lebaran saya terpaksa membatasi pesanan karena takut tidak kelar," kata peraih medali emas pecak silat SEA Games 1991 itu.

Namun ia mengaku belum siap melakukan produksi dalam jumlah besar atau menambah karyawan yang membantunya.

Wanita kelahiran Bandung 4 September 1969 itu sempat bekerja di PT Detecon, perusahaan rekanan PT Telkom sebagan transleter, namun hanya dua tahun dilakoninya hingga 2005. Ia mengaku lebih memilih untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengurusi kedua putra kembarnya, Aditya dan Shintya.

"Tidak ada bagian untuk kerja kayaknya, jadi saya cari kesibukan lain di rumah, menyalurkan hobi dan menghasilkan uang," kata Budiwati.

Selain mencontoh produk pakaian jadi, ia juga menciptakan desain sendiri dari produk pakaiannya itu. Dan ternyata hobi-nya itu mendapat dukungan dari suami tercinta, Maryatno yang menikahinya 1995 itu.

Terlepas dari kegiatannya saat ini, Budiwati merupakan salah satu pesilat nasional yang bisa sukses berprestasi lagi saat "come back" ke gelanggang. Setelah berhenti silat setelah menikah, ia kembali tahun 2000-an dan menjadi juara di Porda VI Bogor dan Porda VII Indramayu, sebelum akhirnya memutuskan mundur setelah tampil di PON XVI/2004 di Palembang.

"Seorang atlet itu harus konsekuen dan siap menerima risiko sebagai pesilat, jangan setengah-setengah," kata wanita berkacamata minus itu.

Meski tidak berkiprah lagi di silat, namun ia tetap tidak bisa dipisahkan dari dunia yang membesarkan dan mempertemukan jodohnya itu. Pasalnya sang suami, Maryatno adalah pelatih nasional pencak silat. Namun tidak satupun dari putranya itu yang menekuni pencak silat.

Bahkan konsekuensinya, Budiwati juga masih merasakan suasana Pelatnas, yakni ditinggal pergi suami yang harus mendampingi atlet binaanya baik di Pelatda maupun di Pelatnas.

"Terkadang teman-teman semasa di pencak silat kumpul di rumah, sharing pengalaman dan juga diskusi," kata peraih perunggu Kejuaraan Dunia Pencak Silat Jerman 1990 itu.

Meski tidak lagi berkecimpung dalam pencak silat, namun ia tetap mengamati perkembangan pencak silat daerah maupun nasional. Menurut dia ada perbedaan karakter atlet saat ini dengan atlet terdahulu. Salah satunya dari gaya pertandingan mereka di atas matras.

"Kalau dulu ada pesilat berkarakter kuat di pertahanan, menyerang dan bantingan. Sekarang atlet lebih menguasai semua teknik itu, namun terkadang penguasaan bertahan atau penyerangannya tidak sempurna," katanya.

Ia mengenang masa jayanya saat menjadi andalan di kelas D atau 55Kg. Budiwati termasuk pesilat yang memiliki teknik bertahan yang baik di jamannya. Tak heran ia bisa sukses `come back` setelah berhenti beberapa tahun dari pencak silat.

"Seangkatan saya Dewi Yanti Kosasih dan Ni Kadek Suwarni dari Bali. Kami sama-sama punya spesialisasi bertahan. Mereka pada melatih semua, saya mungkin tidak berbakat melatih," katanya menambahkan.
(S033/Z003)

Pewarta: Syarif Abdullah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011