New York (ANTARA News) - Saat ini ada kecenderungan makin banyaknya ilmuwan Amerika Serikat yang ingin melakukan penelitian di Indonesia pada berbagai disiplin ilmu. "Kecenderungan ini terlihat terutama setelah tragedi tsunami. Banyak ilmuwan dari kalangan universitas di AS menanyakan kepada saya mengenai minatnya ke Indonesia," kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan pada KBRI Washington DC, Dr Harris Iskandar, Selasa. Ilmuwan asing, kata Harris, tetap harus melalui prosedur sebelum melakukan penelitian di Indonesia, di antaranya melalui kerjasama dengan LIPI. Selain mengatasnamakan universitas, ada juga yang secara individual dan telah menyiapkan dana yang cukup, katanya. Hasil-hasil penelitian sebelumnya, misalnya penemuan puluhan spesies baru di Papua, dan juga penemuan peradaban lama yang terkubur oleh letusan Gunung Tambora di Sumbawa, makin mendorong minat untuk melakukan penelitian lanjutan. Ditambah lagi dengan informasi terbaru yang dipublikasikan pers di AS bahwa Indonesia termasuk negara dimana banyak spesies flora dan faunanya terancam punah. "Kini Indonesia bagai sebuah laboratorium besar dimana banyak hal yang perlu diteliti," kata Harris. Bahkan, bukan hanya di bidang bio diversity atau antropologi, Indonesia juga diminati ilmuwan asing untuk penelitian di bidang politik dan sosial. Besarnya minat ilmuwan AS, katanya, perlu ditanggapi secara bijaksana oleh pemerintah Indonesia, sehingga dapat memperoleh manfaat yang optimal. Penemuan sejumlah spesies baru di Pegunungan Foja Papua, dan sisa peradaban lama di Sumbawa baru baru ini yang melibatkan ilmuwan Indonesia dan AS, mendapat perhatian yang cukup besar dari media massa di Amerika Serikat. Misalnya penemuan sisa peradaban lama yang terkubur oleh letusan Gunung Tambora tahun 1815, sering disebut-sebut oleh pers di AS sebagai "Pompeii II" atau "Pompeii dari Timur". Penemuan tersebut kemungkinan nantinya bisa mendorong sektor pariwisata Indonesia yang kini tengah merosot. "Namun karena ini baru temuan awal, maka yang harus dilakukan adalah melindungi situsnya dulu, jangan sampai malah rusak karena banyak orang yang ingin melihat," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2006