Batu Bara, Sumut (ANTARA News) - Pemerintah Pusat diharapkan dapat memperhatikan keadaan Istana Lima Laras yang berada di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, yang bangunannya hampir roboh karena tidak pernah mendapat perawatan.

Datuk Muhammad Azminsyah (69) salah seorang cucu Datuk Matyoeda di Batu Bara, kemarin, mengatakan Istana Lima Laras yang merupakan peninggalan Kerajaan Melayu itu sudah kelihatan hancur dan dindingnya banyak yang lapuk dan terkelupas.

Bahkan, menurut dia, pintu masuk Istana Laras itu juga di ganjal dengan kayu-kayu bekas, karena tidak berfungsi lagi, dan menjaga agar orang lain tidak sembarangan masuk.

"Istana Lima Laras tersebut saat ini sudah dilupakan orang dan hanya sebagai saksi bisu, dan tidak seperti pada zaman dulu banyak dikunjungi masyarakat untuk melihat peninggalan bersejarah," kata Datuk Azminsyah.

Dia mengatakan, Istana yang terdapat di Kabupaten Batu Bara itu, saat ini hanya menjadi sekadar kenangan belaka dan tidak begitu dikenal lagi. Bagian atap istana mengalami bocor.

Istana yang dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda itu, hanya sebagai saksi bisu sejarah, dan tidak ada lagi mendapat perhatian dari pemerintah dan termasuk dari Pemerintah Kabupaten Batu Bara, ujarnya.

"Saya yang selama ini menjaga dengan setia peninggalan Istana Lima Laras yang dibangun oleh Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras ke- XII," kata Datuk Azminsyah.

Dia mengatakan, karena tidak adanya lagi bantuan dari Pemkab Batu Bara untuk merawat dan melestarikan istana tersebut, maka dirinya terpaksa harus mengeluarkan dana pribadi yang di rogoh dari kantongnya sendiri.

Biaya yang dikeluarkannya itu, yakni untuk pembayaran rekening listrik setiap bulannya mencapai ratusan ribu rupiah. "Tak mungkin istana tersebut dibiarkan gelap gulita pada malam hari, meski pun bangunan itu sudah jarang dikunjungi masyarakat," ujar Datuk Azminsyah.

Lebih jauh, dia mengatakan, Istana Lima Laras yang terdiri empat lantai itu, dibangun pada tahun 1912 oleh Datuk Matyoeda.

Istana tersebut berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter persegi, sangat mengagumkan dan semua bahan yang digunakan terbuat dari kayu yang diukir seperti bangunan melayu.

Bahkan, jelasnya, semua dinding, jendela, pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik dibuat arsitektur yang memiliki jiwa seni cukup tinggi.

"Pembangunan Istana Lima Laras itu, khusus mendatangkan tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia, serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana," kata Datuk Azminsyah.

Selanjutnya, dia menjelaskan, Datuk Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung atau selesai dikerjakan.

Datuk Matyoeda wafat pada tanggal 7 Juni 1919, dan sekaligus berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.

Istana Lima Laras, berjarak sekitar lebih kurang sekitar 143 Km arah Tenggara Kota Medan itu memiliki empat anjungan. Selain itu, di depan istana tersebut ada bangunan kecil tempat dua meriam kuno, saat ini tidak terawat lagi dan telah ditumbuhi semak belukar.

Seluruh bangunan Istana Lima Laras itu, berarsitektur Melayu, tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China.

Lantai pertama yang terbuat dari beton, dilengkapi balai ruang atau tempat bermusyawarah. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar-kamar berukuran 6 x 5 meter. Istana ini juga memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela.

Untuk naik ke tingkat dua dan tiga, selain menggunakan tangga yang biasa digunakan di bagian luar, juga ada tangga berputar dengan 27 anak tangga yang terdapat di dalam istana tersebut.

"Tangga Istana Lima Laras yang berputar itu, saat ini sudah putus karena lapuk dan tidak adanya renovasi. Beberapa anak tangga sudah hilang. Dan sebagian besar perlengkapan istana sudah hancur atau raib," kata Datuk Azminsyah.
(T.M034/R010)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2012