mereka lebih senang belajar seperti itu karena materi baru
Warse (ANTARA) - Guru dari Sekolah Dasar (SD) YPPK Warse, Kabupaten Asmat, Papua Mariyata Konrada Waragan mengatakan para guru menanam kebun sayur sebagai media pembelajaran untuk meningkatkan motivasi belajar anak-anak di Suku Asmat.

“Kita masuk ke kurikulum 2013 (K13) dan bukunya biasa saja, tidak terlalu rumit bagi anak. Akhirnya saya beri ke kelas enam misal tumbuh-tumbuhan, bagian bunga lalu tentang makhluk hidup,” kata Mariyata saat ditemui ANTARA di Kampung Warse, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu.

Mariyata menuturkan Kampung Warse memiliki tanah yang subur. Banyak tanaman dapat tumbuh dengan baik di lingkungan kampung dan memenuhi kebutuhan gizi anak.

Suburnya tanah, kemudian dimanfaatkan para guru untuk menanam berbagai macam tumbuhan seperti lengkuas, pandan dan kunyit, sementara tumbuhan di pot yakni cabai. Sementara buah yang ada yakni kelapa, pisang, jambu air, sirsak, jambu asam, tebu manis dan jeruk.

Dikarenakan anak Suku Asmat lebih menyukai belajar dengan melihat atau mempraktikkan sesuatu, Mariyata banyak memberikan materi dengan memperkenalkan bagian-bagian tumbuhan beserta fungsinya.

Baca juga: Anak-anak Suku Asmat masih terkendala mengakses pelayanan pendidikan
Baca juga: Disdik: Pola belajar Asmat tak bisa disamakan dengan anak pada umumnya

Menurutnya, anak-anak sangat senang saat mengetahui bagaimana tumbuhan bisa bernafas layaknya manusia melalui anggota tubuh lainnya. Mereka juga senang belajar mengenai kesehatan alat reproduksi.

Anak Asmat juga menyukai menghafal langsung organ tubuh manusia beserta kegunaannya melalui gambar atau tebak-tebakan. Hal itu lebih efektif mengingat banyak anak belum bisa membaca dan menulis dengan baik.

“Mereka lebih senang belajar seperti itu karena materi baru. Selama ini hanya baca tulis, itu jadi bosan,” ucap guru yang mengajar di kelas enam SD itu.

Mariyata menambahkan bahwa anak Asmat adalah anak yang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Mereka bahkan sering datang ke sekolah pada pukul 6 pagi untuk mengikuti pembelajaran. Meskipun saat datang mereka belum menyantap sarapan pagi akibat orang tua yang sibuk bekerja atau tidak memiliki bahan makanan.

“Jam 6 pagi, itu anak-anak sudah berbaris di depan sekolah tunggu guru buka kelas. Tapi sekolah belum buka, baru nanti pulang mereka tahu-tahu sudah main,” ujar dia.

Baca juga: UM Papua diminta pemerintah kembangkan pendidikan "Bumi Cenderawasih"
Baca juga: Kolaborasi pendidikan lingkungan hidup di kawasan konservasi Fakfak

Sebelumnya, Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat, Papua Barbalina Toisuta menyatakan bahwa pola belajar yang digunakan pada anak-anak Suku Asmat tidak bisa disamakan dengan anak secara umum.

Barbalina menuturkan anak-anak di Suku Asmat tidak suka berdiam diri lama di kelas. Kebiasaan itu terbentuk akibat sering mengikuti orang tua pergi bekerja di hutan untuk mencari gaharu (pohon dengan bau wangi yang khas).

Anak di Suku Asmat cenderung menyukai bermain dan belajar di ruang terbuka. Menurutnya, menggunakan metode pembelajaran secara umum yang mengharuskan siswa duduk tiga sampai empat jam di dalam kelas justru membuat anak cepat bosan dan lelah.

“Mereka lebih senang belajar di luar. Itu jadi kreasi guru untuk membawa mereka belajar keluar walaupun tentang macam-macam pelajaran itu,” kata Barbalina.

Baca juga: Prof Amany hargai upaya pemerintah bangun pendidikan di Papua
Baca juga: PKT terima peserta pendidikan vokasi dari Papua-NTTBaca juga: Sebaran internet BAKTI di Papua mayoritas untuk akses pendidikan

 

 

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022