Asmat rupanya lebih membutuhkan pendampingan langsung daripada sekadar dana yang diberikan pemerintah
Jakarta (ANTARA) - Hangat dan menenangkan. Mungkin dua kata itu dapat menggambarkan secara tepat seperti apa rasanya kehidupan Suku Asmat.

Suku yang mendiami Kabupaten Asmat, Papua itu, memiliki kota kecil bernama Kota Agats dengan luas 23.746 km2. Setiap bangunan tertata rapi dan berdiri tegak di atas tumpuan kayu-kayu.

Untuk masuk kota itu, butuh waktu 20 menit dari Bandara Ewer dengan menggunakan kapal cepat dengan tarif Rp100 ribu per orang.

“Sehari-hari ramai pakai speed boat (kapal cepat) karena satu-satunya kendaraan air di sini,” kata seorang operator kapal cepat, Titus (42).

Tidak ada kendaraan lain selain kapal cepat menuju Agats. Selama perjalanan, ada sambutan langit biru yang jernih, udara segar, dan pepohonan rimbun di tepi-tepi rawa. Namun, karena dipenuhi lumpur, air sungai jadi keruh dan berwarna cokelat.

Pemandangan penyambut selanjutnya, begitu tiba di pelabuhan kota, adalah anak-anak yang berenang atau berlari menyapa di pinggir rumah.

Kemudian banyak tukang ojek dengan sepeda motor listrik berjejer menawarkan bantuan pengantaran ke penginapan. Tarif bervariasi, tergantung jarak. Namun, biasanya mereka meminta Rp20 ribu untuk sekali jalan.

Sejumlah tukang ojek dengan motor listrik yang menunggu penumpang di depan penginapan di Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Selasa (21/6/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti/am.
 

Tapi jangan heran, bila sepeda motor kebanyakan melaju di atas jembatan kayu. Suku Asmat tidak mempunyai tanah kering untuk membangun jalan raya ataupun trotoar. Mereka terbiasa hidup di atas air.

Di Agats, semua pengendara sepeda motor tidak boleh membunyikan klakson. Tidak sopan katanya. Jadi saat ingin melewati warga yang menghalangi jalan, cukup melalui sapaan dengan mengatakan permisi atau pergi melalui jalur lain.

Bila dilihat jeli lagi, tidak ada satupun sampah terlihat di jalanan sepanjang Kota Agats. Mereka sudah bisa membedakan sampah kering dan basah dengan baik, sedangkan tong sampah diletakkan di pinggir jalan dengan rapi.

Hari-hari di Kota Agats sangat tenang. Banyak anak berlari sambil bermain, sedangkan orang tua banyak yang berdagang di pasar atau membangun kios kecil untuk warung makan.

Uskup Agung Kota Agats Monsinyur Aloysius Murwito membeberkan bahwa Asmat adalah suku yang pintar. Mereka mampu mengenali alam dengan baik.

Kemampuan warga suku semakin kuat dengan bantuan kalender air dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang bisa didapatkan pada awal tahun untuk bertahan hidup.

Bapak Uskup dari Keusukupan Agung Kota Agats, Kabupaten Asmat, Papua MGR. Aloysius Murwito yang memegang kalender air Suku Asmat, Rabu (22/6/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti/am.
 

Lewat kalender yang disebut "Buku Kehidupan Asmat" itulah, masyarakat dapat menjalankan mata pencaharian sebagai peramu, yakni mengumpulkan hasil alam --tergantung dari ketersediaan di suatu wilayah-- seperti sagu yang menjadi bahan pangan pokok mereka.

“Ini penting sekali karena untuk perjalanan tertentu. Belum tentu hari ini, jam ini kami bisa melewati jalur sungai ini. Untuk orang yang tidak akrab dengan sungai air pasang surut mutlak perlu,” ujar dia.

Jika kalender menunjukkan sungai akan surut atau meti, masyarakat akan memanfaatkan waktu untuk bercocok tanam komoditas yang dapat dipanen dalam jangka pendek, seperti sawi, bayam, atau singkong.

Sisanya, melakukan pemberdayaan ikan dengan membuat sebuah kolam. Namun, pemberdayaan ini biasa dilakukan selama tiga atau empat bulan ke depan agar tidak terganggu air pasang.

“Itu semua bisa ditanam dalam usia tiga sampai enam bulan. Tapi kalau menanamnya masuk di bulan Oktober sampai Januari itu air pasang sudah tinggi. Petani tahu itu, maka tidak pasang tanaman ini,” kata Uskup Murwito.

National Project Manager Wahana Visi Indonesia (WVI) Hotmianida Panjaitan menambahkan bahwa Suku Asmat menggunakan air hujan sebagai sumber air utama untuk melangsungkan hidup. Air bersih masih sangat terbatas, air di sungai pun terkadang dipenuhi lumpur dari rawa.

Baca juga: Suku Asmat dengan segudang bakat terpendam

Kalaupun membutuhkan air mineral kemasan, mereka akan menyewa jasa kapal pengangkut barang atau kapal cepat guna mengangkut berkardus-kardus barang untuk dijual kembali.

Oleh karena Asmat di daerah pedalaman, seringkali sinyal untuk mengakses informasi dari dunia luar terhambat. Penyebabnya keterbatasan jangkauan sinyal ataupun cuaca buruk.

Pendampingan

Meski nampak sudah mengalami kemajuan setelah terjadinya kejadian luar biasa (KLB) akibat campak dan gizi buruk pada 2018, Asmat rupanya lebih membutuhkan pendampingan langsung daripada sekadar dana yang diberikan pemerintah.

Di Kota Agats, kondisi warga sudah lebih maju dan paham akan pentingnya lingkungan bersih bagi kesehatan. Namun tidak di beberapa kampung yang terletak jauh setelahnya.

Dari sisi kesehatan di Kampung Damen misalnya, masih ada kepercayaan yang mengakar kuat bahwa anak yang belum bisa berjalan di atas tanah tidak boleh diberi makan daging-dagingan. Akibatnya, banyak anak menderita gizi buruk karena kekurangan nutrisi.

Pemberian ASI eksklusif juga tidak begitu tinggi. Ibu-ibu lebih suka memberikan susu botol lewat pemberian bantuan pemerintah. Padahal lebih baik memberikan pengajaran langsung seperti pentingnya membuat makanan pendamping ASI melalui bahan pangan lokal.

Pendampingan untuk mengajarkan cara memasak yang benar juga diperlukan mereka, sebab Suku Asmat suka mengonsumsi air hujan secara langsung, tanpa direbus terlebih dahulu.

Belum lama ini, mamak-mamak di Asmat juga hanya mengetahui cara memasak dengan membakar atau merebus bahan makanan. Sagu pun hanya dibentuk bulat-bulat. Sisik ikan yang dimasak saja tidak dibersihkan.

Baca juga: Keuskupan: Asmat manfaatkan kalender air BMKG untuk bertahan hidup

Masih banyak rumah di perkampungan Asmat yang tidak memiliki WC. Tak heran, anak-anak sering diare akibat lingkungan yang kotor, tidak ada yang memberi tahu mereka untuk rajin mencuci tangan, bahkan sekadar mandi.

Banyak rumah juga menjadi satu ruangan dengan dapur, sedangkan di sepanjang jembatan juga dipenuhi banyak kotoran anjing ataupun anak-anak.

Salah satu rumah di Kampung Damen, Kabupaten Asmat, Papua yang terbuat dari kayu, Rabu (22/6/2022). ANTARA/Hreeloita Dharma Shanti/am.
 

“Jadi pendekatannya kita tidak pengobatan, tapi lebih pada penyadaran masyarakat. Tapi di sini saja belum lagi memperkirakan air naik dan turun, mesin boat (kapal) juga mahal. Jadi serba susah,” kata dia.

Dari sisi pendidikan di Kampung Warse misalnya, guru dari Sekolah Dasar (SD) YPPK Warse, Blandina Kanubun, mengatakan anak-anak Asmat kekurangan guru untuk mengajari mereka. Di kampung itu, hanya ada empat guru dan satu kepala sekolah.

Sebanyak lima pendidik harus mengajari 179 siswa yang berasal dari tiga kampung hanya dengan bermodal tiga ruang kelas. Anak-anak akan ramai pergi ke sekolah sampai harus meminjam ruangan dari balai pertemuan dan gereja bila semua guru hadir.

Bila tidak ada guru, semua kelas digabung menjadi satu. Jarang ada materi baru yang diberikan. Akibatnya, banyak anak belum bisa membaca, apalagi menghitung angka.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat Barbalina Toisuta mengakui orang tua faktor utama mengapa anak sulit pergi sekolah. Beberapa anak menyelesaikan pendidikan SD pada usia 14-18 tahun.

Baca juga: Kader: Pengetahuan ayah di Suku Asmat penyebab ibu takut ikuti KB

Hampir 25 persen dari total anak Asmat berhenti sekolah pada kelas empat SD karena ikut orang tua pergi meramu selama hampir setahun.

“Misal mereka punya kampung, kalau misal mereka tidak dapat sumber pendapatan mereka pindah lagi. Ini sudah meramu yang tidak menentu,” ucap dia.

Selain itu, fasilitas pendidikan yang dimiliki suku Asmat hanya terdiri atas 10 PAUD dan 136 SD di tingkat kampung. Terdapat pula 19 SMP, lima SMA, dan satu SMK. Namun, pada jenjang ini, anak harus mengarungi panjangnya sungai untuk pergi ke kota atau kecamatan. Tidak semua desa memiliki akses pendidikan di tempat mereka.

Asmat butuh lebih banyak pendidik dengan materi pelajaran baru yang disesuaikan dengan gaya belajar mereka, seperti mengamati tumbuhan di ruang terbuka. Anak Asmat suka menghafal melalui gambar sambil bermain.

“Kami tida mau jadi seperti bapak mamak yang terus bekerja. Saya mau jadi guru to, saya mau selalu pergi ke sekolah, kalau terus seperti bapak dan mamak tidak ada yang bisa berubah,” kata Regina (17), Anak Kampung Damen yang duduk di kelas IV SD.

Suku Asmat juga mau berubah. Banyak anak memiliki cita-cita yang tinggi dan sanggup membawa nama baik keluarga juga bangsanya.

Tapi, ke mana kita di saat mereka membutuhkan perubahan?

Baca juga: Suku Asmat gunakan speed boat untuk berkegiatan sehari-hari
Baca juga: WVI: Asmat butuh pendampingan langsung guna pahami hidup sehat
Baca juga: Suku Asmat kekurangan guru guna imbangi jumlah siswa yang meningkat


Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022