Jakarta (ANTARA) - Pengembangan obat, vaksin dan alat kesehatan membutuhkan biaya yang besar termasuk untuk uji lab, uji praklinik, dan uji klinik, serta mengandung risiko kegagalan yang tinggi, sehingga industri enggan mengambil risiko tersebut.

Di sisi lain, kandidat-kandidat obat, vaksin, dan alat kesehatan harus memenuhi standar regulasi yang berlaku, sementara periset tidak memahami aspek industri, aspek regulasi dan aspek uji untuk memenuhi prosedur dan standar regulasi yang berlaku.

Kondisi tersebut menjadi permasalahan yang kerap menyebabkan lembah kematian bagi hasil riset karena tidak ada jembatan untuk riset sampai ke industri di mana proses hilirisasi dan komersialisasi produk riset dan inovasi tidak terjadi.

Padahal, Indonesia memiliki banyak potensi riset bidang kesehatan obat, vaksin dan alat kesehatan (alkes), yang terbukti dari lahirnya berbagai produk inovasi kesehatan untuk penanggulangan pandemi COVID-19 di Tanah Air.

Indonesia juga mempunyai kapasitas industri farmasi yang terus berkembang, salah satunya Bio Farma yang menjadi salah satu produsen vaksin yang terbesar di dunia.

Indonesia memiliki kekuatan dengan lebih 240 industri farmasi termasuk industri farmasi milik badan usaha milik negara dan swasta. Indonesia juga mempunyai 1.489 pedagang besar farmasi (PBF) pusat dan 1.074 PBF cabang.

Indonesia memiliki lebih dari 40.000 rumah sakit, apotek, klinik dan toko obat yang menggunakan dan mendistribusikan obat-obatan dan alkes, yang tentunya untuk mencukupi atau melayani 270 juta penduduk di Indonesia di mana di dalamnya adalah peserta BPJS Kesehatan sebesar 240,3 juta jiwa.

Namun, masih ada permasalahan yang dihadapi yakni ketergantungan pada produk bahan baku obat impor, dan kelemahan di bidang produk-produk inovasi. Sekitar 90 persen bahan baku obat (BBO) yang digunakan di Indonesia masih diperoleh dari impor.

Baca juga: GP Farmasi Indonesia menuju kemandirian obat-obatan

Animal BSL-3

Belanja bahan baku obat Indonesia di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara menduduki peringkat tertinggi karena memang ada kebutuhan jumlah obat yang besar untuk jumlah penduduk Indonesia yang banyak pula sehingga sebaiknya dipasok dari dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Oleh karenanya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Kementerian Kesehatan mendorong percepatan kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan Indonesia.

BRIN mengambil peran untuk menjembatani agar hasil riset sampai ke industri dan menanggung risiko kegagalan yang tidak memungkinkan bagi industri farmasi untuk menanggung risikonya. BRIN juga memfasilitasi para periset sehingga kandidat-kandidat obat, vaksin, dan alat kesehatan bisa memenuhi standar regulasi yang berlaku.

Hal itu dilakukan agar terjadi hilirisasi dan komersialisasi hasil riset dan inovasi demi mendukung kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan Indonesia.

Menurut Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, BRIN dengan segala sumber daya yang dimiliki setelah integrasi seluruh sumber daya riset dan inovasi yang dimiliki pemerintah baik sumber daya manusia, infrastruktur riset maupun anggaran, akan menjembatani agar hasil riset sampai ke ranah industri.

"Kita bisa melakukan program-program dan tindakan-tindakan yang konkret untuk mempercepat kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan Indonesia," ujar Handoko.

Untuk itu, BRIN menyediakan skema fasilitasi pengujian produk inovasi kesehatan yang mencakup antara lain uji praklinik dan uji klinik baik untuk obat, vaksin maupun alat kesehatan, dan infrastruktur riset seperti Laboratorium Bio Safety Level 3 (BSL-3) animal BSL-3.

Infrastruktur riset dan skema fasilitasi yang ada di BRIN dapat diakses oleh siapapun termasuk periset di BRIN, periset di kampus, komunitas, bahkan dari tim riset dan pengembangan industri.

Saat ini, BRIN sedang menyiapkan fasilitas Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk vaksin dan obat di Cibinong, Jawa Barat, untuk membantu produksi terbatas vaksin dan obat yang dibutuhkan untuk uji praklinis dan uji klinis.

BRIN juga sedang membangun animal BSL-3 untuk primata dengan jumlah cukup besar yang dapat digunakan sebagai sarana pembuktian keamanan dan khasiat kandidat vaksin dan berbagai obat yang dikembangkan. Diharapkan pembangunan animal BSL-3 akan selesai dalam beberapa bulan ke depan.

Fasilitas Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dan animal BSL-3 akan sangat bermanfaat untuk mendukung pengembangan berbagai vaksin dan obat termasuk vaksin COVID-19 dan vaksin untuk penyakit endemik di Indonesia.

Skema fasilitasi pengujian produk inovasi kesehatan dikelola oleh Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN. Deputi itu akan menyeleksi dan menetapkan proposal terkait kandidat obat, vaksin dan alat kesehatan yang akan didukung pembiayaan pengujian produk inovasi kesehatannya.

Selanjutnya, pelaksanaan proses pengujian akan dilakukan oleh tim Deputi Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, dengan membentuk tim yang melakukan berbagai uji dan mengikuti standar dan regulasi yang berlaku. Namun, harus ada industri yang akan menjadi calon mitra untuk pemanfaatan produk tersebut dan pengusul uji ke regulator.

Diharapkan seluruh skema fasilitasi dan infrastruktur riset bisa digunakan secara maksimal untuk mempercepat dan memudahkan periset dan industri dalam mengembangkan berbagai obat, vaksin, alat kesehatan buatan Indonesia ke depannya.

Baca juga: Kemenperin apresiasi GPFI ikut bangun kemandirian kesehatan

Transformasi sistem kesehatan

Salah satu pilar dari transformasi sistem kesehatan di Indonesia adalah transformasi di bidang ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan. Selain itu, peningkatan bioteknologi dan informasi digital untuk mendukung teknologi kesehatan juga menjadi agenda dari pilar transformasi sistem kesehatan.

Sejumlah strategi yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemkes) untuk mendukung ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan di Indonesia mencakup tiga hal, yakni penelitian dan pengembangan, produksi dan jaminan pasar.

Untuk bidang penelitian dan pengembangan, Kemkes menyusun peta jalan jangka menengah lima tahun untuk setiap molekul BBO yang menjadi prioritas berdasarkan nilai dan faktor lain seperti tren pola penyakit, demografi dan kedaruratan.

Kementerian Kesehatan memberikan fasilitasi transfer teknologi, uji klinik vaksin dan alat kesehatan, serta change source BBO. Salah satunya, Kemkes membiayai pelaksanaan uji klinik vaksin Merah Putih untuk COVID-19 yang dilakukan Universitas Airlangga dan mitra.

Lembaga pemerintah itu juga sedang memperkuat pembangunan kapasitas rumah sakit-rumah sakit yang berada di bawahnya untuk mempunyai kapasitas dalam pelaksanaan uji klinik baik obat maupun vaksin sehingga nanti proyek-proyek pengembangan obat-obatan, vaksin maupun alkes baru dapat menggunakan fasilitas-fasilitas uji klinik yang dibangun oleh Kemkes.

Menurut Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalucia, penguasaan teknologi baru vaksin berbagai platform perlu dilakukan agar bisa diproduksi dalam negeri sehingga memenuhi kebutuhan dalam negeri seperti vaksin untuk mencegah tuberkulosis (TBC).

Di samping itu, Kemkes melakukan koordinasi lintas sektor untuk jejaring alat kesehatan, mendukung pengembangan ekosistem riset dan pengembangan, serta mendukung pengembangan alat kesehatan inovasi dan alat kesehatan untuk program kesehatan nasional.

Di bidang produksi, Kemkes melakukan berbagai simplifikasi perizinan, dan memberikan berbagai fasilitasi pengujian serta intervensi insentif dan disinsentif untuk industri farmasi dan alkes.

Di bidang jaminan pasar bagi industri farmasi dan alkes dalam negeri, Kemkes memberikan berbagai skema insentif kepada industri farmasi dan alkes dalam negeri diantaranya melakukan substitusi produk impor, memberlakukan implementasi tingkat komponen dalam negeri, dan mendorong agar belanja pemerintah untuk alkes dan obat-obatan dioptimalkan menggunakan produk dalam negeri.

Jika produk dalam negeri bisa memenuhi kebutuhan nasional, maka akan dilakukan freeze (turun tayang) produk impor. Hal itu sejalan dengan upaya Kemkes untuk mendorong implementasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri utamanya di rumah sakit, daerah dan juga swasta.

Selain itu, Kemkes mendorong pengembangan produk biologi dan derivat plasma, produksi 14 jenis antigen vaksin program dan TBC, serta produksi dalam negeri untuk alkes terbanyak yang digunakan dalam negeri.

Kemkes juga mendukung pengembangan jamu dan obat herbal terstandar (OHT) menjadi fitofarmaka berdasarkan terapeutik area dan ketersediaan bahan alam.

Diharapkan, produk fitofarmaka menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan tidak menggunakan fitofarmaka yang berbahan baku impor tapi menggunakan fitofarmaka yang berbahan baku asli Indonesia.

Berbagai upaya yang dilakukan pemerintah seperti skema fasilitasi, infrastruktur riset, simplifikasi regulasi, pembiayaan, dan insentif, yang disertai dengan kolaborasi antarpihak, diharapkan mampu menciptakan ekosistem yang kondusif untuk mendorong kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan serta kedaulatan pengelolaan kesehatan di Indonesia.*

Baca juga: BPOM dorong kemandirian produk biologi

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022