(ANTARA News) - Seorang perempuan tua menjagai bara di turibulum atau bejana pedupaan di dekat pintu kiri altar, sementara tiga hio merah menyala di sebuah meja kecil di kanan atas altar kudus.

Hari itu, Senin, 26 Januari 2009, semerbak misa di Gereja Santo Petrus, Batam, berbeda dari biasa karena mewangian dupa bukan hanya dari turibulum (bejana logam pendupaan) yang diayun-ayunkan, melainkan juga dari asap hio (dupa bergagang).

Di atas meja, hio ditancapkan di antara Salib Yesus Kristus, dua lilin putih, bunga rangkai, serta setumpuk dodol dan jeruk.

Pendupaan, berabad-abad dikenal Gereja Roma dalam tata liturgi (ibadat) di gereja sebagai pengiring kekhidmatan persekutuan umat dengan Tuhan Allah, kata Uskup Pangkalpinang Monsinyur Hilarius Moa Nurak SVD.

Hio biasa digunakan umat Konghucu dan Buddha untuk bersembahyang kepada Thian (Sangdi, Yang Maha Tinggi) dan dewa-dewi di altar rumah maupun di kelenteng atau vihara.

Dupa bergagang mulai dikenal di zaman kerajaan China berabad-abad sebelum ada penanggalan Masehi.

Seperti kemenyan yang asapnya wangi, hio menjadi medium pengiring doa atau sembahyang.

Orang Tionghoa pemeluk agama Katolik di Indonesia banyak akrab dengan hio sebab bertalian dengan leluhur atau saudara beragama Khonghucu dan Buddha.

Dalam mengenang dan mendoakan orang tua, saudara, kerabat dan orang yang berjasa dan telah meninggal, pada Misa Perayaan Tahun Baru Imlek (TBI) 2560 di Gereja Santo Petrus, Batam, tiga hio dinyalakan.

"Pada setiap kali misa, gereja Katolik menyelenggarakan doa bagi yang telah meninggal. Kali ini dengan hio," kata Mgr Hilarius, pemimpin Tertinggi Gereja Katolik di wilayah Keuskupan Pangkalpinang (Provinsi Bangka Belitung dan Kepulauan Riau).

Mengenai persembahan berupa dodol dan jeruk, kata Uskup, bukan untuk dikonsumsi dewa-dewi atau roh leluhur, melainkan ditujukan semata-mata kepada Yesus Kristus.

Benda-benda seperti uang dan hasil panen, biasa dipersembahkan umat Katolik ke altar melalui pengurus gereja pada setiap kali perayaan Ekaristi sebagai wujud syukur atas rejeki dan perlindungan yang diterima dari Allah.

Penggunaan hio, persembahan dengan dodol dan jeruk adalah bagian dari inkulturasi Gereja Katolik, kata Hilarius.

Konteks dodol yang lengket dan manis, katanya, merupakan simbol rekonsiliasi orangtua dan anggota keluarga yang minimal setahun sekali berkumpul, menngucap syukur, saling memaafkan dan saling mendoakan untuk kehidupan yang lebih baik.

Bentuk lain dari inkulturasi diwujudkan dengan pohon angpao, lampion dan hiasan dinding sosok shio kerbau.

Ada pula nyanyian "Xin Nian Xin Shi Ming" pengiring waktu persembahan (kolekte), dan "Xin Nian Da Tuan Bai", ketika umat bersiap menerima komuni.

Misa khusus itu kental suasana oriental. Bahkan, sembilan pastor yang dipimpin Uskup Hilarius, menggunakan jubah (capula) merah, warna dominan simbol suka cita, semangat dan pengharapan.

Adapula beberapa peti berisi jeruk dan satu kotak 500 angpao yang dibagikan kepada umat setelah diberkati Uskup yang diawali dengan salam ucapan tahun baru setelah selesai ibadat inti.

Bukan itu saja, saat membagi-bagikan jeruk kepada anak-anak, remaja, pemuda dan orang tua, Pastor Marcel Gabirel Projo, memberi salam dengan dua tangan di dada.

Peserta Misa Perayaan TBI 2560 bukan hanya dari keluarga Katolik dari suku Tionghoa melainkan di antaranya juga dari suku Flores, Batak, Manado, dan Jawa.

"Baru kali ini Misa Perayaan Imlek di sini dipimpin langsung Uskup Pangkalpinang," kata Pastor Kepala Paroki Santo Petrus Peter Brono Sarbini, SVD.

Untuk mendekatkan tata cara dan pemaknaan melalui simbol-simbol tradisi Tionghoa, katanya, tim yang pada beberapa kali penyelenggaraan hanya meraba-raba, kini dibantu Pastor Martin Irawan SS.CC yang lebih mengerti.

Anggota DPRD Kota Batam Bastoni Solichin yang beragama Katolik meski tidak memahami secara mendalam tentang makna perayaan Imlek namun meyakini sebagai tradisi yang baik sehingga perlu mensyukurinya dalam ibadat di gereja.

Kegembiraan menyambut TBI ditandai dengan penyulutan petasan renteng oleh Uskup Pangkalpinang di halaman gereja, kemudian dimeriahkan atraksi barongsai, dan ditutup dengan makan siang bersama.(*)

Pewarta: oleh A Jo Seng Bie
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009