Jakarta (ANTARA News) - Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, berpendapat perang melawan terorisme bukanlah perseteruan antara Islam dan Barat, melainkan pertikaian dalam budaya. "Perang melawan terorisme itu adalah perseteruan antara kelompok moderat (demokratis) dan fanatik (tidak demokratis)," katanya menjawab pertanyaan wartawan di Jakarta, Jumat. Dalam serangan teroris di Bali pada 12 Oktober 2002 misalnya, bom yang meledak itu membunuh siapa saja tanpa pandang bulu. Bahkan, mayoritas korban adalah orang Indonesia dengan berbagai latar belakang agama, katanya. Dalam perang melawan terorisme, kerjasama Polri dan Polisi Federal Australia (AFP) bahkan menjadi "cerita sukses besar di kawasan", katanya. Dubes Farmer mengatakan, ia sependapat dengan apa yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika ia membuka seminar internasional tentang pencegahan kejahatan yang diselenggarakan Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) di Jakarta, 27 Februari lalu. Saat itu, Presiden Yudhoyono meminta dunia internasional untuk berlaku bijaksana dalam menjalin kerja sama dalam melawan terorisme sehingga upaya tersebut tidak justru menimbulkan ketegangan baru antarbangsa, penganut agama dan peradaban. "Membangun kerja sama internasional di antara negara, kebudayaan dan agama berbeda, sudah cukup erat. Kita harus melakukannya secara lembut, berhati-hati, dan bijaksana," kata Presiden. Menurut Dubes Farmer yang mulai bertugas di Jakarta, November 2005 itu, Canberra akan terus melanjutkan kerjasama yang baik dengan Indonesia selama ini. Dalam acara temu pers, Dubes Farmer yang turut didampingi Konselor Urusan Umum Kedubes Australia, Elizabeth O`Neill, juga menyinggung tentang hubungan bilateral Indonesia-Australia yang semakin baik, baik hubungan antarpemerintahan maupun antarmasyarakat. Ia kembali menegaskan posisi Australia yang menghormati keutuhan dan kedaulatan NKRI dan tidak mendukung gerakan separatis apapun. "Kebijakan pemerintah Australia sudah sangat jelas dan tegas, yakni Papua (Barat) adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Namun beberapa lembaga swadaya masyarakat dan perorangan memiliki pandangan yang berbeda. Yang pasti, posisi pemerintah sangat jelas (dalam kasus Papua-red.)," katanya. Dalam kasus 43 orang pencari suaka dari Papua Barat di Australia itu, Canberra tetap mengkomunikasikan perkembangan di seputar masalah ini dengan Jakarta, katanya. Pemerintah Australia, lanjut Dubes Farmer, hanya menjalankan kewajiban hukum Australia dan internasional, kata mantan sekretaris Departemen Imigrasi dan Urusan Multikultural (DIMIA) dan mantan Dubes Australia untuk Meksiko itu.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2006