Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional IndonesiaSolok, Sumbar (ANTARA) - Rumah kelahiran pahlawan nasional Mohammad Natsir (Buya M Natsir) terletak di pinggir jembatan berukir, dekat pasar tradisional Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) dengan warnanya didominasi kuning yang cukup mencolok.
"Di rumah inilah Bapak Mohammad Natsir dilahirkan. Tepatnya pada tanggal 17 Juli 1908 dari pasangan Bapak Idris Sutan Saripado dengan istrinya Khadijah," kata salah seorang cucu sahabat orang tua Buya M Natsir, sekaligus pemilik rumah kelahiran pahlawan nasional itu Tuti Murniati (69) di Alahan Panjang, saat ditemui pada Jumat (5/8) 2022.
Lebih lanjut, Tuti menjelaskan berdasarkan cerita dari neneknya yang bernama Siti Zahara bahwa kakeknya bernama Kamal Sutan Rajo Ameh berteman baik dengan orang tua Buya M Natsir yang sebelumnya berasal dari Bukittinggi.
"Mereka sama-sama sebagai pedagang, yakni berdagang rempah-rempah seperti cengkeh, pala, dan lainnya yang dijual ke daerah Bukittinggi, Payakumbuh, dan Painan," katanya.
Suatu ketika orang tua dari Buya M Natsir menyampaikan suatu pesan bahwa dia dan istrinya ingin pindah ke Alahan Panjang Karena tidak betah tinggal di Bukittinggi akibat penganiayaan yang dilakukan oleh penjajah Belanda.
"Kakek kami pun menyambut baik kedatangan beliau dan istrinya, karena anak kakek banyak yang hidup di rantau. Mereka pun tinggal bersama di rumah ini," katanya.
Setelah beberapa tahun pasangan suami istri itu tinggal di Alahan Panjang, lahirlah anak mereka yang diberi nama Mohammad Natsir, tepatnya pada tanggal 17 Juli 1908 di rumah sederhana itu.
Seiring berjalannya waktu, ketika umur M Natsir sekitar lima sampai enam tahun, Nagari Alahan Panjang dinyatakan dalam keadaan genting atau darurat. Pemerintah setempat mengumumkan agar masyarakat segera meninggalkan rumah untuk pergi menyelamatkan diri ke bukit-bukit.
"Karena terdapat kabar bahwa penjajah Belanda akan melakukan serangan bom di Nagari Alahan Panjang," katanya.
Semenjak kejadian itu, maka berpisahlah keluarga Idris (orang tua Buya M Natsir) dan keluarga Kamal (kakek Tuti). Keluarga Idris kembali ke kampung halaman mereka di Maninjau, sementara keluarga Kamal mengungsi ke daerah pegunungan di Sungai Abu, Kecamatan Hiliran Gumanti karena tempat tersebut belum di ketahui oleh penjajah Belanda waktu itu.
Sesampai di Alahan Panjang setelah pulang dari tempat pengungsian sekitar tiga hingga empat bulan lamanya, keluarga Kamal menemukan rumah tempat kelahiran M Natsir tersebut habis dibakar oleh penjajah Belanda.
"Rumah sebelumnya sudah dibakar penjajah Belanda. Setelah kemerdekaan rumah ini kembali dibangun, persis seperti aslinya untuk mengenang sejarah," kata Tuti.
Sampai saat ini Tuti bersama keluarganya terus berupaya membangun dan melestarikan rumah bersejarah paninggalan kakeknya. Di mana rumah itu merupakan tempat kelahiran Buya M Natsir yang saat ini telah diangkat sebagai pahlawan nasional.
Selain itu, Tuti juga mengatakan bahwa ia pernah bertemu buya M Natsir sekitar tahun 1970-an. Menurutnya buya merupakan sosok yang sangat sederhana, cerdas, dan rendah hati.
"Bahkan saat M Natsir diangkat menjadi menteri pun rumah dan pakaiannya tampak sederhana, namun tetap menghargai keluarga kami yang berkunjung ke rumahnya, meskipun tamu beliau sangat ramai waktu itu," katanya.
Kendati merupakan rumah milik pribadinya, Tuti tidak membatasi siapa pun yang hendak berkunjung ke rumah bersejarah itu.
Bahkan sebelum dipasangkan papan nama rumah kelahiran M Natsir oleh Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) sudah banyak yang berkunjung, baik dari dalam maupun luar negeri hanya sekadar mengenang sejarah kelahiran M Natsir.
"Sekarang sudah dipasangkan papan petunjuk sebagai rumah kelahiran Bapak M Natsir oleh Dewan Dakwah sehingga memudahkan siapa pun yang berkunjung ke sini," kata Tuti Murniati.
Catatan sejarah
Sebagai salah satu pahlawan nasional, cukup beragam catatan sejarah yang dapat direkam dari Mohammad Nastir.
Ensiklopedia bebas Wikipedia menuliskan Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia.
Di dalam negeri, ia pernah menjabat Menteri Penerangan dan Perdana Menteri (PM) Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung, Jawa Barat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam.
Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia. Natsir kemudian terlibat pemberontakan PRRI, yang membuatnya sempat dipenjara. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam.
Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal.
Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah.
Guru Besar Universitas Cornell, Amerika Serikat, Prof George McTurnan Kahin dalam buku "Mohammad Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan", yang diterbitkan Pustaka Antara Jakarta (1978) dinukil hampir tidak percaya yang ditemuinya adalah Mohammad Natsir, Menteri Penerangan RI.
Kahin berkenalan dengan Natsir saat menjabat Menteri Penerangan pada 1948 di Yogyakarta melalui Agus Salim.
Ia melihat Mohamma Natsir sangat sederhana, kemejanya bertambalan di beberapa bagian. Beberapa pekan kemudian, kata Kahin, staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas dan mereka mengatakan dengan baju itu pemimpin mereka akan kelihatan seperti menteri sesungguhnya.
Baca juga: Presiden: Kepahlawanan M Natsir Masih Relevan
Baca juga: 111 tahun Pak Natsir, Menteri berkemeja tambalan
Baca juga: Mohammad Natsir Diakui Sebagai Pahlawan Nasional di Malaysia
Baca juga: Sejarawan: Gelar Pahlawan Natsir Untuk Nilai Kembali Sejarah
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2022