Jakarta (ANTARA) - Pada penghujung Juli 2022 telah diselenggarakan sosialisasi secara hybrid kepada Jajaran Kemenkumham di seluruh Indonesia baik secara luring maupun daring mengenai Permenkumham Nomor 3/2022 tentang Tata Kelola Kebijakan Publik di lingkungan Kemenkumham.

Permenkumham ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu 6 Januari 2022.

Kementerian Hukum dan HAM merupakan kementerian pertama yang menerbitkan ketentuan tentang tata kelola kebijakan publik, sudah sepatutnya aturan tata kelola kebijakan publik diinisiasi oleh Kemenkumham mengingat ini sejalan dengan nomenklatur sebagai Kementerian Hukum.

Sebulan sebelumnya, pada saat Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, beranjangsana ke negeri Paman Sam, beliau mempromosikan visa second home atau rumah kedua.

Promosi ini merupakan upaya nyata dari pemerintah dalam rangka memacu roda pertumbuhan ekonomi pada bidang keimigrasian, yang berpotensi mengaut devisa dari para pelancong mancanegara.

Inisiasi sang menteri perlu didukung oleh kesiapan ketentuan terkait visa rumah kedua.

Pembaca tentu bertanya, apa sich hubunganya Permenkumham tentang tata kelola kebijakan publik dengan visa second home yang diutarakan oleh Menkumham?

Yuk, kita telisik lebih jauh untuk menjawab rasa keingintahuan tersebut.

Baiklah untuk membahas hal tersebut di atas, kita mulai dengan memaparkan ketentuan visa second home secara historis.

Pada 1998 diterbitkan Keppres Nomor 31/1988 tentang kemudahan bagi wisatawan lanjut usia (lansia) mancanegara.

Keppres itu antara lain memuat, wisatawan lansia harus menyampaikan pernyataan untuk tinggal di sarana akomodasi yang tersedia selama di Indonesia, baik yang diperoleh dengan cara sewa, sewa beli atau pembelian.

Wisatawan lansia mancanegara harus mempekerjakan pramuwisma Warga Negara Indonesia (WNI) selama berada di Indonesia.

Pada tahun yang sama, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pemberian visa dan izin keimigrasian bagi wisatawan lansia mancanegara, yang merupakan ketentuan turunan ditetapkan pula.

Jika ditinjau dari segi waktu antara diterbitkannya Keppres dan Kepmen ini merupakan proses yang sangat cepat terkait diterbitkannya aturan turunan.

Ihwalnya, pada era tersebut permasalahan keimigrasian belum begitu bervariasi sehingga ketika Keputusan Presiden ditetapkan maka Keputusan Menteri Kehakiman dapat langsung dieksekusi.

Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini di mana problematika dan dinamika keimigrasian bergerak secara fluktuatif baik secara kuantitatif maupun kaulitatif sehingga dalam menetapkan preskripsi keimigrasian membutuhkan waktu yang lebih lama karena terkait dengan skala prioritas atas persoalan yang mengemuka.

Sebagai ilustrasi kehadiran Covid-19 telah membuat Ditjen Imigrasi sebagai garda terdepan penjaga pintu gerbang perlintasan orang asing, menerbitkan sejumlah kebijakan yang bergerak dinamis seiring perkembangan Covid-19.

Tentu saja prioritas penanganan Covid-19 dari segi ketentuan keimigrasian, akan melambatkan penerbitan kebijakan keimigrasian lainnya.

Selanjutnya, Keppres ini berlaku lebih dari dua dekade, hal ini menunjukkan bahwa dari segi statistik kunjungan wisatawan lansia mancanegara cukup signifikan dan berimplikasi positif secara ekonomi.

Sedangkan bila diteropong dari segi yuridis formal mengidentifikasikan bahwa ketentuan tersebut dapat diimplementasikan secara berdaya guna.

Dua dasawarsa kemudian tepatnya tahun 2020 diterbitkan PP No.51. Pada PP ini istilah wisatawan lansia mancanegara masih eksisting di mana salah satu persyaratan yaitu surat pernyataan memperkerjakan tenaga kerja informal WNI belum berubah. Namun pada PP 48 tahun 2021 persyaratan ini ditiadakan.

Persyaratan ini nampaknya sepele, namun jika sedikit meneropong data statistik wisatawan lansia selama lebih dari dua dasawarsa, dapat diakumulasi berapa rupiah yang telah diperoleh oleh WNI pada sektor informal tersebut.

Pasalnya, keberadaan WNA di bumi pertiwi, haruslah memberi kemanfaatan yang bermakna baik dari sisi perekonomian maupun dari segi kemanusiaan.

Hal ini juga berarti jika akan menyusun ketentuan tersendiri tentang visa rumah kedua, dapat ditambahkan persyaratan yang membuka peluang adanya tambahan pendapatan bagi masyarakat namun tanpa memberatkan orang asing.

Pertanyaan yang masih menggantung di benak pembaca tentunya, kapan frasa rumah kedua muncul di ketentuan perundang-undangan?

Frasa tersebut muncul pertama kali pada PP Nomor 48/2021 yang diundangkan pada 2 Februari 2021.

Selanjutnya, pada salah satu pasal yang disisipkan disebutkan bahwa pada saat PP ini mulai berlaku, Visa tinggal terbatas tidak dalam rangka bekerja sebagai wisatawan lansia mancanegara yang telah diterbitkan, dinyatakan tetap berlaku sebagai Visa tinggal terbatas tidak dalam rangka bekerja bagi Orang Asing dalam rangka rumah kedua.

Pada bagian penjelasan PP tersebut yang dimaksud dengan rumah kedua adalah fasilitas keimigrasian yang berupa visa tinggal terbatas yang diberikan kepada orang asing dan/atau keluarganya yang tinggal menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi syarat tertentu

Selain itu, defenisi visa second home sendiri belum utuh karena pada tataran tertentu, pengertian visa ”rumah kedua ialah dapat juga digunakan oleh beberapa WNA yang tidak dapat diakomodasi dengan jenis izin tinggal lainnya.

Artinya visa second home bukan semata-mata sebagai pengganti visa bagi wisatawan lansia mancanegara namun ada pengertian lain yang tercakup di dalamnya.

Oleh karena itu penting untuk didefenisikan secara presisi pengertian rumah kedua agar terdapat kesamaan persepsi dan paradigma serta tidak menimbulkan multitafsir terhadap diksi “rumah kedua”.

Sedikit menelaah dari segi persyaratan, pada persyaratan alternatif visa second home yaitu bukti setor jaminan keimigrasian, ini masih menyisakan pekerjaan rumah tersendiri sebab bukti setor jaminan keimigrasian sampai saat ini belum dapat diterapkan karena belum adanya mekanisme ataupun kesepakatan terkait pengelolaan bukti setor jaminan keimigrasian antara Ditjen Imigrasi dengan pihak bank/otoritas keuangan.

Hal lain, pada ketentuan penutup Permenkumham Nomor 29/2021 tentang Visa dan Izin Tinggal dinyatakan Kepmen Kehakiman tahun 1998 tentang Pemberian visa dan izin keimigrasian bagi wisatawan lanjut usia mancanegara dicabut.

Jika Kepmen Kehakiman tersebut tidak berlaku lagi, seharusnya ketentuan pengganti dapat mengakomodasi segala bentuk dan jenis visa serta izin tinggal (termasuk alih status izin tinggal) yang terkait dengan wisatawan lansia mancanegara.

Namun pada Permenkumham pengganti, ketentuan tentang izin tinggal dan alih status izin tinggal terkait pemegang visa rumah kedua belum diatur secara lengkap, oleh karenanya masih perlu disempurnakan lagi.

Kausanya, izin tinggal mengikuti visa yang digunakan oleh orang asing, contohnya visa tinggal terbatas menjadi dasar pemberian izin tinggal terbatas.

Karena itu perlu ditetapkan prosedur visa rumah kedua beserta izin tinggal yang mencakup keseluruhan materi yang belum tertuang secara eksplisit pada Permenkumham dimaksud. Atau akan lebih baik lagi dan bila memungkinkan reglemen visa second home beserta cabangnya dapat dituangkan dalam ketentuan tersendiri seperti pada tahun 1998.

Hal ini bukan bermaksud mengatakan Kepmen Kehakiman tahun 1998 lebih baik, namun sebagai bentuk dukungan nyata atas kesiapan aturan terkait dengan pernyataan Laoly tentang visa second home.

Bila aturan mengenai visa rumah kedua dan cabangnya telah jelas tertuang dalam ketentuan maka dalam implementasinya tidak akan menimbulkan kebijakan yang berbeda pada level yang sama.

Pada Permenkumham Nomor 3/2022 yang mengatur alur proses tata kelola kebijakan meliputi pendahuluan, pengusulan, agenda setting, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan.

Bila ditarik benang merah dengan uraian sebelumnya, dapat diikhtisarkan berikut ini.

Merujuk pada Permenkumham tentang tata kelola kebijakan publik tersebut, timbul pertanyaan apakah PP No.48 tahun 2021 dan Permenkumham No.29 tahun 2021 telah diimplementasikan sebagaimana yang diamanahkan dalam kedua ketentuan itu?

Untuk mengukur penerapan kedua kebijakan di atas, tentu membutuhkan waktu yang lama.

Agar lebih efektif dan searah dengan pernyataan Laoly maka yang perlu dilakukan akselerasi pengukuran implementasi adalah visa second home yang termaktub dalam kedua ketentuan tersebut.

Tentu cara mengukur pun dapat disederhanakan yaitu dengan berkoordinasi langsung dengan pemangku jabatan visa dan izin tinggal terkait yang berada pada Unit Utama.

Untuk mengetahui sejauh mana implementasi PP dan Permenkumham dalam menopang pelaksanaan visa rumah kedua.

Kedua, perlu dibentuk tim pemantauan dan evaluasi kebijakan khususnya yang terkait dengan kebijakan visa second home yang merupakan hal baru dalam preskripsi keimigrasian.

Terdapat hal lain, reglemen visa second home akan lebih cepat dirumuskan secara spesifik bila ada kebutuhan publik yang tidak terpenuhi dengan adanya aturan visa rumah kedua yang eksisting.

Akhirnya, merumuskan kebijakan visa rumah kedua ke dalam aturan tertentu merupakan suatu keniscayaan.

(*) Fenny Julita,S.Sos.,M.Si, adalah Analis Keimigrasian Ahli Madya, Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM RI.

Copyright © ANTARA 2022