Jakarta (ANTARA) - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjalankan kajian regulasi pemberian label Bisfenol A (BPA) pada kemasan makanan dan minuman yang terbuat dari plastik.

“Selama ini masyarakat hanya menyoroti jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi terhadap kesehatan, namun mengabaikan pengaruh kemasan makanan atau minuman tersebut serta kandungan dalam kemasan tersebut terhadap kesehatan,” kata Sekretaris Jendral PB IDI Ulul Albab dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan sekitar 78 persen industri di Indonesia kini menggunakan plastik sebagai kemasan makanan ataupun minuman, sedangkan 16,5 persen sisanya digunakan untuk kemasan minuman berkarbonasi.

Ia menuturkan semua pihak perlu menerapkan visi ekonomi plastik baru yang sesuai dengan rekomendasi United Nations Environment Programme (UNEP). Adapun rekomendasi yang diberikan di antaranya mengeliminasi pemakaian plastik yang tidak dibutuhkan, berinovasi agar plastik dapat dipastikan bisa digunakan kembali juga menyirkulasikan barang plastik yang digunakan agar tetap terjaga, ekonomis, dan ramah lingkungan.

Sebagai bentuk dukungan dari PB IDI, ia memberikan saran agar setiap industri memberikan label pada makanan atau minuman meski ada atau tidaknya BPA di dalam kemasan yang digunakan.

Baca juga: Dampak dari Bisfenol A pada kemasan plastik yang perlu diwaspadai

Produsen dan pelaku industri juga disarankan untuk mengonsultasikan kandungan serta aturan pelabelan bersama BPOM karena terkait dengan keselamatan dan kesehatan masyarakat, termasuk bijak dalam memproduksi dan memilih kemasan plastik yang akan digunakan.

Pada masyarakat, Ulul meminta masyarakat menghindari untuk menggunakan, menyimpan, atau mencuci botol plastik berulang kali dalam suhu yang tinggi.

“Kemudian pilihlah kemasan plastik yang memiliki label bebas BPA, termasuk pada air minum dalam kemasan,” ucap dia.

Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI Agustina Puspitasari menambahkan secara global, BPA sudah banyak digunakan pada produk-produk seperti botol air yang dapat digunakan kembali, plastik polikarbonat, plastik pengemas, pelapis kaleng makanan dan pipa air.

Namun, berdasarkan beberapa hasil penelitian, paparan BPA justru memengaruhi fisiologi yang dikendalikan oleh endokrin, kelenjar prostat dan perkembangan otak pada janin, bayi dan anak-anak. Akibatnya, kesehatan dan perilaku anak dapat dipengaruhi.

“Penelitian lain juga menunjukkan kemungkinan hubungan antara BPA dengan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe dua dan penyakit kardiovaskular,” ujar dia.

Baca juga: WALHI ingatkan peran produsen untuk kurangi sampah kemasan

Secara singkat Agustina menjelaskan pada 1950 BPA mulai digunakan dalam resin epoksi dan bahan dasar pembuatan plastik polikarbonat. Namun di tahun 1970, program nasional toksisitas di AS menemukan bahwa BPA bersifat toksik bagi organ reproduksi.

Pada tahun 2008 setelah banyak kajian dilalui, BPOM Amerika Serikat (US-FDA) menetapkan batas konsentrasi asupan. Hingga 2011, Komisi Regulasi Uni Eropa mengeluarkan Specific Migration Limit (SML) dan melarang menggunakan BPA pada produk botol bayi dan anak-anak.

Negara seperti Prancis, California, Denmark, Austria, Swedia dan Malaysia pun mengadakan aturan yang spesifik terkait penggunaan BPA karena berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan sistem reproduksi.

Baca juga: Sayangi anabul dan bumi dengan mengolah sampah kemasan makanan hewan
Baca juga: Pakar sebut kemasan galon solusi ramah lingkungan
Baca juga: Kemasan isi ulang ramah lingkungan untuk lindungi bumi


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022