Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah janji dan komitmen Presiden Jokowi yang tidak pernah berhenti.
Jakarta (ANTARA) - Kantor Staf Presiden menyatakan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu menunjukkan komitmen Presiden menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu.

"Ini merupakan komitmen serius Presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pengadilan atau yudisial, dan luar pengadilan atau non-yudisial, sebagaimana dinyatakan dalam Nawa Cita, RPJMN, dan dokumen resmi lainnya," kata Deputi V KSP Jaleswari Pramodhawardani dalam siaran pers di Jakarta, Sabtu.

Pada Pidato Sidang Tahunan MPR, DPR dan DPD RI 16 Agustus 2022 Presiden menyampaikan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius Pemerintah.

Saat ini RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam pembahasan, tindak lanjut atas temuan Komnas HAM masih terus berjalan dan Keppres Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu sudah ditandatangani.

Jaleswari mengatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu adalah janji dan komitmen Presiden Jokowi yang tidak pernah berhenti.

Menurut dia, sejak menjabat Presiden RI pada tahun 2014 Jokowi telah berupaya keras menyelesaikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Presiden telah memerintahkan untuk pelanjutan proses yudisial dengan memerintahkan Kejaksaan Agung menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM.

Paralel dengan proses yudisial yang berlangsung, Jokowi juga memberikan arahan perlunya penyelesaian non-yudisial yang lebih berorientasi pada perlindungan dan pemulihan hak-hak korban dan keluarga korban.

Selanjutnya, pada peringatan Hari HAM Sedunia 9 Desember 2014 di Yogyakarta, Presiden menemui korban pelanggaran HAM untuk mendengarkan aspirasi mereka, kemudian pada tahun 2015 digagas pembentukan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran.

Pada tahun 2016 digelar simposium nasional tentang peristiwa 1965/1966 dan rencana pembentukan Dewan Kerukunan Nasional pada tahun 2016. Namun, mendapat penolakan publik dengan berbagai alasan.

Baca juga: KSP: Komitmen Jokowi tuntaskan kasus pelanggaran HAM tak pernah surut
Baca juga: Komnas HAM pastikan saksi kasus Paniai tidak terbebani


Pada bulan Mei 2018, Presiden menerima audiensi keluarga korban pelanggaran HAM di Istana guna mendengar aspirasi dan harapan korban. Pada tahun yang sama dibentuk Tim Gabungan Terpadu tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Pada tahun 2019, lanjut dia, dimulailah pembahasan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2006.

Pada tahun 2021, Jaksa Agung mulai melakukan penyidikan atas dugaan pelanggaran HAM di Paniai pada tahun 2014, dan dalam waktu dekat ini Pengadilan HAM atas kasus tersebut akan digelar di Pengadilan Negeri Makassar.

Jaleswari menegaskan bahwa tidak ada jalan tunggal bagi penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan berdasarkan penyelidikan Komnas HAM.

Sembilan peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, yakni Peristiwa 1965/1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1983—1984; Peristiwa Talangsari 1989; Peristiwa Mei 1998; Peristiwa Penghilangan Paksa 1997/1998; Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998—1999; Peristiwa Dukun Santet 1999; Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998; dan Peristiwa Simpang KKA Aceh 1999.

Empat peristiwa lainnya terjadi setelah tahun 2000, yaitu Peristiwa Wasior 2001; Peristiwa Wamena 2003; Peristiwa Jambo Keupok 2003; dan Peristiwa Paniai 2014.

Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, menurut dia, tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan.

"Pengalaman di berbagai negara mengajarkan setidaknya ada dua jalan yang perlu ditempuh, yaitu jalan penyelesaian yudisial dan non-yudisial," terangnya.

Pewarta: Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2022