Jakarta (ANTARA News)- Departemen Dalam Negeri telah membatalkan 506 Peraturan Daerah (Perda) mulai tahun 1999 hingga 2 Maret 2006, dan 393 Perda lainnya sekarang ini tengah dibahas di Biro Hukum Depdagri dan masuk dalam kategori "layak dibatalkan". Menurut Sekjen Depdagri, Progo Nurjaman, di Jakarta, Kamis, pembatalan dilakukan karena Perda itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan bertentangan dengan kepentingan umum. "Sejak ditetapkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemda hingga 2 Maret 2006 telah diterima 5054 Perda tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah, dan Sumbangan Pihak Ketiga," katanya. Setelah dilakukan pengkajian, sebanyak 3.966 Perda dinyatakan layak dilaksanakan, 156 Perda direvisi, dan 930 Perda masuk kategori "layak dibatalkan". "Dari Perda yang layak dibatalkan itu, Depdagri telah membatalkan 506 Perda, 24 Perda dibatalkan daerah, dan 7 Perda lainnya sedang menunggu sikap daerah," katanya. Pembatalan Perda dilaksanakan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti tumpang tindih dengan pajak pusat, seperti Pajak Komiditi Perkebunan dengan PBB, Pajak Pengolahan Migas dengan PPN dan PBB-KB. Perda dibatalkan karena pengaturannya bias, seperti ditetapkan sebagai retribusi tapi pungutannya bersifat pajak. Sebagai contoh adalah Retribusi Izin Pemanfaatan Sumber- Sumber Air yang tarifnya dihitung berdasarkan kubikasi air yang dimanfaatkan. Selain itu, katanya, pungutannya retribusi namun tidak berkaitan langsung dengan pelayanan yang diberikan, seperti Retribusi Peredaran Kayu. Perda dibatalkan karena substansi yang diatur bukan merupakan kewenangannya, seperti Retribusi Tera dan Tera Ulang yang dilaksanakan Kabupaten/Kota, padahal hal itu kewenangan Provinsi. Sekjen juga menyebutkan Perda dibatalkan karena bertentangan dengan kepentingan umum, yang dampaknya mengakibatkan disinsentif ekonomi yang dapat merusak pola perdagangan investasi, produksi dan konsumsi, serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi, seperti Retribusi Asal Komoditas. Perda juga dibatalkan karena menghambat masuknya barang antar daerah, seperti Retribusi Izin Pengeluaran Hewan Ternak, serta menghambat ekspor, seperti Pajak Produksi Minyak Sawit Dasar (CPO). "Pembatalan itu bukan untuk mematikan daerah, tetapi untuk mendorong daerah itu berkembang dalam jangka panjang, terutama dalam menarik arus investasi," katanya. Disebutkannya, daerah semestinya memahami perbedaan pengenaan pajak dan retribusi. Jangan dikenakan retribusi, namun pungutannya bersifat pajak," katanya. Perda yang bersifat umum dibatalkan dengan Peraturan Presiden dan dapat diajukan Judicial Review kepada MA, namun Perda mengenai pajak dan retribusi dibatalkan dengan Peraturan Mendagri. Pembatalan Perda disebutkannya bukan untuk memperkuat sentralisasi pemerintahan, namun peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi. (*)

Copyright © ANTARA 2006