Jakarta (ANTARA) - Hemat saya, rencana diterbitkankannya Peraturan Presiden tentang Dewan Keamanan Nasional (Perpres tentang DKN) seyogianya memang perlu dihentikan pembahasannya atau dibatalkan penerbitannya karena tidak ada urgensi kepentingan dan manfaatnya.

Hal tersebut sudah terlihat dari cukup lamanya proses pembahasan Perpres tentang DKN ini dan banyaknya penolakan dari elemen masyarakat sejak dari awal pembahasannya.

Juga memang pantas dan sudah semestinya bila Polri tidak setuju atau menolak rencana diterbitkanya Perpres tentang DKN ini.

Adapun hal-hal yang perlu menjadi pertimbangan untuk pembatalan penerbitan Perpres DKN tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama, sangat jelas disebutkan dalam Pasal 30 UUD 1945 tentang Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) bahwa TNI dan Polri sebagai kekuatan utama pertahanan dan keamanan dengan pelibatan rakyat sebagai kekuatan pendukung . Penegasan Sishankamrata dalam klausula Pasal 30 UUD 1945 tersebut secara filosofis dan konstitusional dimaksudkan dan ditujukan untuk mengantisipasi dan menjawab segala bentuk ancaman (militer, nonmiliter dan hibrida), baik yang datangnya dari dalam maupun dari luar negeri.

Kedua, atas dasar itu pula berturut-turut sudah terbit beberapa undang-undang organik, yakni UU yang terbit atas perintah Pasal 30 UUD 1945 tersebut, yaitu UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No.3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, dan UU No. 23 / 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).

Semua UU tersebut selain sudah menjawab bangunan Sishankamrata yang dikehendaki Pasal 30 UUD 1945, juga pada tataran emperikal sudah terbangun sinergitas dan harmonisasi dalam pelaksanaannya, di mana kekuatan utama TNI di bidang pertahanan dan Polri di bidang keamanan sesuai dengan tugas wewenangnya masing-masing dan rakyat sebagai kekuatan pendukung.

Selanjutnya bagaimana upaya pengelolaan semua kekuatan utama dan pendukung tersebut beserta mekanismenya untuk mengantisipasi dan menjawab atau menghadapi segala bentuk ancaman yang juga secara jelas diatur dalam UU PSDN.

Ketiga, bahwa kemudian adanya draf Perpres DKN yang mengatur tentang institusi kenegaraan yang bersifat penunjang (auxialiary state organ), selain tidak tepat diatur dalam bentuk peraturan presiden harus dalam bentuk undang-undang, juga akan sangat mengganggu bangunan Sishankamrata yang sudah berjalan, sehingga Perpres ini potensial akan mendatangkan berbagai persoalan hukum di kemudian hari. Apalagi, tampaknya Perpres DKN ini merupakan pintu masuk untuk menggolkan RUU Kamnas yang ditolak sejak tahun 2007.

Keempat, jika yang menjadi latar belakang dibuatnya draf Perpres tentang DKN berkenaan dengan masalah koordinasi, jawabannya tidak harus diselesaikan dengan menerbitkan (draf) Perpres, melainkan harus dicari penyebab tidak maksimalnya koordinasi yang berjalan selama ini. Mungkin perlu menjadi perhatian kita tentang prinsip proporsional dan profesional juga egosektoral terkait masih adanya pihak-pihak yang ingin menjadi to have more, tetapi kurang mau untuk to be more.

Kelima, kelihatannya substansi (draf) Perpres DKN tersebut, selain menimbulkan banyak ambiguitas, norma pasal yang ada di dalamnya dan inkonsistensi pasal yang satu dengan pasal yang lain, juga dapat dipastikan akan menimbulkan relatif banyaknya masalah hukum di kemudian hari.

Keenam, bahwa urusan keamanan dalam negeri yang menjadi urusan pemerintahan yang berkaitan erat dengan keamanan dan ketertiban masyarakat saat ini telah menjadi urusan yang diselenggarakan oleh Polri sebagai alat negara di bidang keamanan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri telah diatur bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri".

Untuk melaksanakan urusan pemerintahan tersebut, UU Nomor 2 Tahun 2002 dalam Pasal 9 ayat (1) telah mengatur bahwa "KapoIri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian". Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa Polri sebagai alat negara diberikan kewenangan atributif oleh UU Polri untuk dapat menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis kepolisian.

UU Polri ini memang tidak menyebutkan secara eksplisit adanya kewenangan Polri untuk menyusun atau merumuskan kebijakan. Namun, dalam memahami konstruksi norma hukum mengenai kewenangan untuk menetapkan kebijakan, maka secara harfiah dapat dipahami bahwa perumusan kebijakan juga sudah terkandung di dalam makna penetapan kebijakan. Jika kewenangan tertinggi untuk menetapkan kebijakan sudah diberikan kepada Polri, maka konsekuensi hukumnya ialah kewenangan untuk merumuskan kebijakan, tentu sudah menjadi bagian dari proses penetapan kebijakan tersebut.

Ketujuh, UU No. 2/2002 tentang Polri telah menetapkan bahwa Polri memiliki fungsi manajemen kebijakan teknis yang utuh, mulai dari fungsi perumusan, penetapan, penyelenggaraan/pelaksanaan dan pengendalian di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat dalam konteks keamanan dalam negeri.

Namun, untuk kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan umum tidak diberikan oleh UU Polri kepada institusi Polri, melainkan kepada Presiden yang dibantu oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Dalam Pasal 38 ayat (1) UU Polri diatur bahwa Kompolnas bertugas, salah satunya untuk membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dari ketentuan ini dapat dipahami bahwa kebijakan umum atau dalam bahasa UU Polri disebut sebagai arah kebijakan, kewenangan penetapannya ada pada Presiden.

Kedelapan, dalam Pasal 5 Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas telah diatur bahwa "Dalam menjalankan tugas membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Polri, Kompolnas mengusulkan arah kebijakan strategis Polri. Arah kebijakan dimaksud merupakan pedoman dalam penyusunan kebijakan teknis Polri. Penyusunan arah kebijakan Polri dilakukan bersama dengan Polri".

Berdasarkan hal tersebut telah jelas dan tegas bahwa UU Polri beserta peraturan pelaksanaannya telah menetapkan pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan urusan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa konstruksi pembagian kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang keamanan dalam negeri adalah sebagai berikut:
a) Presiden: menetapkan arah kebijakan Polri (kebijakan umum);
b) Kompolnas: menyusun arah kebijakan Polri bersama dengan Polri, kemudian Kompolnas mengusulkan arah kebijakan Polri tersebut kepada Presiden.
c) Polri: menetapkan, menyelenggarakan dan mengendalikan kebijakan teknis Polri sesuai arah kebijakan Polri yang ditetapkan Presiden.

Dengan demikian, apabila DKN yang akan menetapkan kebijakan dan staf DKN yang akan merumuskan rancangan kebijakan di bidang keamanan nasional yang secara substansi berurusan dengan urusan pemerintahan di bidang keamanan, maka hal ini jelas bertentangan dengan tugas dan fungsi Polri yang telah diatur dalam UU Polri. Terlebih lagi bidang keamanan nasional yang akan ditangani masih berada dalam wilayah abu-abu (grey area), sehingga Polri sudah memang semestinya keberatan atau menolak Perpres DKN dan tentu apabila dipaksakan dapat mengganggu sistem kelembagaan keamanan dalam negeri yang telah ada.

Maka dengan demikian keberadaan (draf) Peraturan Presiden tentang Dewan Keamanan Nasional (DKN) tersebut sama sekali tidak ada urgensi dan manfaatnya sehingga perlu dihentikan pembahasannya atau dihentikan penerbitannya.

Semoga bermanfaat.

*) Irjen Pol (P) Sisno Adiwinoto adalah pengamat kepolisian.

Copyright © ANTARA 2022