Jakarta (ANTARA) - Profesionalisme Polri sebagai institusi penegak hukum di Tanah Air tengah menjadi sorotan publik, utamanya sejak kasus yang memantik perhatian masyarakat luas atas meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang melibatkan mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo.

Adanya kasus “Sambogate” membuat profesionalitas Korps Bhayangkara dipertanyakan. Apakah institusi yang kini berusia 76 tahun itu sudah profesional dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya atau belum melangkah maju menyongsong era Police 4.0.

Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri pada Pasal 13 tentang tugas pokok Polri, yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Selain amanat undang-undang, pergerakan Polri juga sesuai dengan visi dan misi pimpinannya yang saat ini dipegang oleh Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dengan mengusung slogan Polri yang Presisi.

Presisi merupakan abreviasi dari PRediktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan, melalui 16 program prioritas Kapolri.

Terlepas dari kasus ”Sambotgate”, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai profesionalisme Polri masih jauh dari harapan.

Catatan pada integritas sumber daya manusia (SDM) Polri, bila diukur secara kompetensi dan kapabilitas kualitas SDM semakin meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan integritas.

Secara kompetensi, kapabilitas SDM Polri semakin meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan integritas. Kualitas kemampuan makin baik, kesejahteraan juga relatif cukup, kata Bambang kepada ANTARA, saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.

Menurut Bambang, indikasi profesionalitas Polri itu bisa dilihat dari tingkat kepuasan publik pada pelayanan, perlindungan dan pengayoman pada masyarakat. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat itu seiring dengan menurunnya indeks kepuasan publik pada pelayanan, perlindungan dan pengayoman tersebut.

Terpisah, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai profesionalisme Polri dilihat dari dua hal, yakni ahli yang bertindak etis. Polri adalah ahli, tetapi permasalahan “Sambogate” ditemukan banyak pelanggaran tidak etik dilakukan anggota Polri.

Untuk itu, jika SDM Polri menjadi rujukan, maka mantan Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso adalah teladan sebagai polisi yang bersih.

“Polisi yang bersih harus berangkat dari sikap mental yang bertindak etis, tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara menindas, memeras, kemudian ber-KKN,” kata Sugeng.

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo bersamalam dengan Komandan Korps Brimob Komjen Pol. Anang Revandoko usai pengukuhan peningkatan status Brimob dipimpin oleh jenderal bintang tiga, Jumat (10/6/2022). (ANTARA/Laily Rahmawaty)
Sidang Etik

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo dalam unggahan di akun Instagram resmi miliknya pada Senin (12/9), menegaskan tidak akan memberikan teguran yang kedua kali bagi anggotanya yang kedapatan melanggar. Begitu ada laporan, sanksi tegas berupa pemberhentian, sudah di depan mata.

Ketegasan ini harus dilakukan. Jenderal bintang empat itu beralasan ketegasan itu untuk melindungi 430 ribu personel Polri dan 30 ribu PNS yang telah bekerja untuk membangun institusi Polri menjadi lebih baik dari masa ke masa.

"Saya harus mencopot, saya harus menindak terhadap rekan-rekan yang melakukan pelanggaran-pelanggaran dan ini terus saya ulang-ulang karena saya sayang dengan 430.000 polisi yang telah bekerja dengan baik dan 30.000 PNS yang juga bekerja dengan baik," ujar Sigit dikutip dari video unggahannya.

Lantas, langkah tegas Polri dalam melakukan sidang etik terhadap anggotanya yang terlibat “Sambogate” dirasa belum cukup dalam rangka membenahi muruwah institusi Polri untuk mewujudkan profesionalitas. Namun hal itu dapat memberikan efek jera, terlebih kasus “Sambogate” mendapat sorotan penuh masyarakat dari berbagai lapisan.

Bentuk ketegasan itu dilaksanakan dengan menyidangkan para terduga pelanggar etik kasus “Sambogate”, dan beberapa personel yang melakukan pelanggaran pidana maupun perbuatan tercela lainnya di sejumlah wilayah, seperti Kasat Narkoba Polresta Kerawang yang diberhentikan dengan tidak hormat karena terlibat dalam peredaran narkoba.

Dalam kasus “Sambogate” dari 97 orang personel yang diperiksa, sebanyak 35 personel diduga melanggar etik terkait tidak profesional dalam penanganan tempat kejadian perkara (TKP) tewasnya Brigadir J di rumah dinas Irjen Po. Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan. Mereka ada yang melakukan pelanggaran etik berat, etik sedang dan etik ringan.

Bambang berpendapat, kasus “Sambogate” membuka tabir bahwa banyak anggota polisi yang semakin profesional untuk membuat rekayasa kasus. Hal ini dibuktikan dengan 97 personel kepolisian yang diperiksa oleh Inspektorat Khusus (Itsus) Polri terkait kasus Brigadir J.

Tidak hanya kasus “Sambogate” yang menjadi catatannya, Bambang meyakini bakal ada banyak anggota yang terkait dengan upaya membangun narasi-narasi bohong bila dilakukan pengembangan (penyelidikan) lebih lanjut, terlebih dengan munculnya bagan Konsorsium 303 atau mafia tambang, narkoba dan lain sebagainya.

Ia juga mengkritisi ketegasan Polri dalam melaksanakan sidang etik, karena dari tujuh tersangka obstruction of justice, baru empat orang yang menjalani sidang dan dijatuhi sanksi PTDH, sisanya tiga orang pelanggar menunggu jadwal sidang yang diselang-seling dengan pelanggar etik sedang dan ringan. Terlebih lagi, para terduga pelanggar mengajukan banding atas putusan PTDH yang dijatuhkan Ketua Komisi KKEP.

Tidak dituntaskannya sidang KKEP terhadap anggota Polri yang terlibat pelanggaran berat dalam kasus “Sambogate” diartikan Polri seolah mengulur-ngulur waktu dan memainkan kepercayaan publik yang baru saja meningkat atas upaya kepolisian mengungkap kasus Brigadir J.

“Padahal salah satu penyebab menurunnya kepercayaan masyarakat adalah kasus obstruction of justice. Kalau sidang etik dan profesi terlalu lama, akibatnya publik akan semakin apatis pada kinerja kepolisian,” kata Bambang.

Untuk ini ia memberikan catatan, saat ini bukan waktunya lagi untuk Polri bermain strategi maju mundur untuk menunggu tekanan publik melemah, dan melupakan penuntasan kasus Brigadir J.

Sedangkan Sugeng berpendapat sidang etik adalah langkah yang tepat untuk menjawab keraguan dan ketidakpercayaan publik kepada Polri, karena di internal polisi ada pameo “tidak mungkin jeruk makan jeruk” itu benar adanya, bahkan di kalangan perwira tinggi dan perwira menengah bisa saling melindungi ketika terjadi kesalahan.

“IPW mendesak Pak Kapolri tegas, tanpa pandang bulu, harus menindak anggotanya jangan dilindungi,” kata Sugeng.

Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Pol. Agung Budi Maryoto menyampaikan perkembangan penanganan kasus pembunuhan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (19/8/2022). (ANTARA/Laily Rahmawaty)
Pengawasan melekat

Bambang menyebutkan, membangun SDM yang berkualitas dan memiliki integritas adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Pembangunan SDM tentunya bukan untuk menciptakan “manusia setengah dewa” yang tidak bisa salah. Perlu diciptakan sistem yang bisa mengontrol sumber daya dan sistem pengawasan yang bisa memastikan bahwa sistem kontrol tersebut bisa berjalan sesuai harapan.

Sistem kontrol tersebut adalah perangkat aturan, pembagian tugas, distribusi kewenangan, termasuk distribusi pengawasan. Sementara sistem pengawasan meliputi siapa mengawasi siapa. Sistem pengawasan ini tidak bisa hanya diserahkan pada internal, karena pengawasan internal sangat rawan konflik kepentingan yang bisa menjauhkan objektivitas.

Makanya perlu pengawasan eksternal yang kuat dan independen.

Menurut Bambang, permasalahan utama terkait SDM Polri saat ini bukan pada rekrutmen. Meskipun rekrutmen ini juga masih harus terus ditingkatkan. Pendidikan dan pelatihan juga sudah sangat memadai.

Persoalan SDM saat ini justru terjadi setelah pendidikan dan pelatihan. Paparan lingkungan kerja yang buruk, tidak adanya merit system dan minimnya pengawasan, sementara kewenangan Polri sangat besar membuat budaya militeristik yang masih terbawa sampai saat ini mengakibatkan arogansi dan penyelewengan-penyelewengan yang keluar dari tugas pokok dan fungsi Polri.

“Pengawas internal Polri itu ada Propam dan Irwasum, eksternalnya siapa? Teoritis Kompolnas, Komisi III. Praktisnya? memangnya berfungsi efektif?,” tanya Bambang.

Sementara itu, menurut Sugeng, peningkatan profesionalitas Polri tidak terlepas dari pembinaan dan pengawasan. Untuk pembinaan adalah tanggung jawab internal kepolisian, termasuk pengawasan, tetapi aspek pengawasan juga penting untuk dikedepankan dengan melibatkan pengawasan oleh publik, salah satunya adalah memperkuat kelembagaan Kompolnas, dengan kewenangan paksa yaitu pro justicia untuk melakukan penyelidikan.

“Juga pengawasan terkait dengan internal kepolisian dengan melibatkan publik, yaitu KKEP dan juga usulan IPW adalah Birowasidik jangan di bawah Kabareskrim, tetapi langsung di bawah Kapolri dengan menaikkan statusnya menjadi bintang dua setara dengan Kadiv Propam,” kata Sugeng.

Yang harus ditekankan dalam meningkatkan profesionalisme Polri adalah perubahan budaya polisi untuk tidak arogan, tidak sewenang-wenang, menjauhkan diri dari sikap hedonis mencari kekayaan secara tidak sehat dengan melindungi praktik-praktik kejahatan, seperti Konsorsium 303 dan permainan perkara di reserse. Kinerja reserse perlu diawasi oleh pimpinan Polri dengan melibatkan publik.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022