Jakarta (ANTARA) - Peneliti Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung (SF-ITB) Emran Kartasmita menyatakan bahwa Indonesia memerlukan kolaborasi riset antara pemerintah, akademisi dan industri terkait tembakau alternatif guna memberikan perspektif penggunaan tembakau yang rendah risiko kepada masyarakat dengan harapan bisa membantu mengurangi pravalensi merokok.

Riset tersebut bukan untuk mendorong kalangan non-perokok menjadi konsumen produk tembakau alternatif, “melainkan menyediakan alternatif produk yang lebih rendah risiko bagi perokok yang kesulitan untuk berhenti dan mendorong mereka beralih ke produk tersebut,” kata Emran pada Senin.
 
Menurut Emran, pemerintah, para akademisi, lembaga riset, serta pelaku usaha di industri bisa berkolaborasi untuk melakukan kajian ilmiah dengan topik-topik yang relevan terhadap produk tembakau alternatif. Kolaborasi tersebut nantinya akan menghasilkan riset yang komprehensif dan perlu dipastikan bahwa fakta mengenai produk tembakau alternatif dapat diakses oleh publik.

Baca juga: Informasi valid produk alternatif bisa kurangi pravalensi merokok

Emran berpendapat, riset-riset kolaboratif juga dapat mengurangi persepsi negatif yang bertentangan dengan fakta hasil kajian ilmiah.

“Cara terbaik untuk mengatasi hal tersebut (persepsi negatif) adalah dengan menyediakan data dan bukti ilmiah yang komprehensif. Khususnya yang terkait dengan aspek keamanan dan dampaknya terhadap kesehatan,” tegasnya.

Hasil kajian tersebut selanjutnya perlu dipublikasikan di jurnal ilmiah yang bereputasi baik. Hal ini bertujuan agar memiliki bobot dan objektivitas ilmiah.

“Selanjutnya, agar mudah dipahami oleh masyarakat luas, bisa disampaikan secara lebih masif melalui berbagai kegiatan edukasi maupun media massa,” tambahnya.

Sebelumnya, SF-ITB telah melakukan hasil kajian literatur ilmiah yang berjudul “Kajian Risiko (Risk Assessment) Produk Tobacco Heated System (THS) Berdasarkan Data dan Kajian Literatur.”

Kajian ini dilakukan terhadap produk tembakau yang dipanaskan berdasarkan metode standar yang dilakukan di seluruh dunia untuk menghitung perkiraan tingkat risiko. Berdasarkan hasil kajian SF-ITB, produk tembakau yang dipanaskan memiliki profil risiko kesehatan yang lebih rendah dibandingkan dengan rokok.

Dalam proses kajian tersebut, SF-ITB mengacu pada lembaga-lembaga dunia seperti WHO (World Health Organization), IARC (International Agency for Research on Cancer), CDC (Centers for Disease Control and Prevention), dan US-EPA (Environmental Protection Agency).

Baca juga: Asosiasi sebut tembakau alternatif perlu aturan terpisah dari rokok

Baca juga: PKJS UI: Rata-rata anak jalanan merokok sejak duduk di kelas 3 SD

Baca juga: Benarkah vape bisa sebabkan kanker paru?

Pewarta: Alviansyah Pasaribu
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022