Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis dewasa Nirmala Ika Kusumaningrum, M.Psi., Psikolog mengatakan pekerja kantoran maupun pekerja lapangan sama-sama memiliki potensi untuk mengalami burnout atau kelelahan secara fisik, mental, serta emosi dalam bekerja.

Masyarakat masih beranggapan bahwa bekerja di dalam ruangan tidak selelah dibanding bekerja di lapangan yang mengandalkan energi fisik. Padahal, kata Nirmala, anggapan tersebut keliru.

“Bukan dilihat di mana (lokasi) pekerjaannya. Burnout bisa terjadi pada pekerjaan apapun. Termasuk misalnya pada jurnalis, sangat mungkin. Padahal kan bisa dibilang kerja jurnalis bisa di ruangan atau bisa di lapangan,” kata psikolog itu yang merupakan lulusan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) saat dihubungi ANTARA melalui telepon di Jakarta, Jumat.

Psikolog klinis lulusan dari Universitas Indonesia (UI) Muthmainah Mufidah, M.Psi., Psikolog juga mengatakan baik pekerja kantoran maupun lapangan keduanya sama-sama menguras energi.

Baca juga: DKI nyatakan tak ada nakes yang alami kelelahan mental selama pandemi

Baca juga: Dokter sebut gejala autoimun dimulai dari kelelahan


“Bekerja dengan pikiran maupun fisik bisa sama beratnya. Pekerjaan yang melelahkan secara pikiran bisa berdampak ke fisik, perasaan, maupun tindakan kita. Jadi wajar jika ada kelelahan fisik meski merasa pekerjaannya tidak banyak bergerak atau di dalam ruangan saja,” kata Mufidah dalam keterangan tertulis kepada ANTARA.

Sementara itu Nirmala mengatakan bahwa tingkat kelelahan tidak bisa dilihat hanya dari jenis dan lokasi pekerjaannya saja, melainkan juga lingkungan yang membentuk budaya kerja. Sebagai contoh pekerja kantoran di perkotaan tidak terlepas dari relasi dengan atasan serta rekan kerja yang mungkin bisa menguras energi, apalagi jika budaya kerja lebih condong mengutamakan persaingan.

Nirmala menyoroti pentingnya membangun budaya kerja yang sehat di mana keselarasanlah yang seharusnya diutamakan, bukan persaingan. Dengan begitu, sikap saling menghargai dan saling terbuka dalam mengutarakan pendapat dapat terbentuk di antara pekerja.

“Keselarasan. Saling dukung dan saling menghargai, termasuk ketika pekerjaannya segini, ya, dibayarnya segini. Jangan kalau si A yang kerja dibayarnya lebih, kalau si B tidak. Itu kan berarti sudah tidak menghargai,” katanya.

Ketika pekerja mengalami “burnout”, maka hal tersebut tidak hanya berdampak pada individu yang bersangkutan melainkan juga berdampak pada relasi sosial, termasuk relasi dengan keluarga yang notabene tidak memiliki hubungan langsung dengan pekerjaan.

“Relasi sosial dengan orang-orang akan berpengaruh, bawaannya sensitif atau marah terus. Atau bahkan kadang tidak menyadari, bisa juga kena ke orang-orang lain yang tidak ada hubungannya, seperti keluarga di rumah, kan tidak ada hubungannya dengan pekerjaan,” kata Nirmala.

Lebih lanjut, Mufidah mengatakan “burnout” memiliki dampak yang banyak dan dapat meluas ke berbagai area dalam kehidupan seseorang.

Selain mempengaruhi relasi sosial, dampak pada individu yang bersangkutan antara lain perasaan dan pikiran negatif berlebihan (intens dan sering), kehilangan minat melakukan berbagai hal, kehilangan dorongan mengembangkan diri, meragukan diri atau memandang diri secara negatif, merasa lebih sensitif atau sulit mengelola emosi, masalah kesehatan fisik, hingga gangguan kesehatan mental.*

Baca juga: Persipal BU kelelahan jelang laga kontra Kalteng Putra

Baca juga: Jamaah haji banyak kelelahan di jalur Jamarat

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022