Pekalongan (ANTARA) - Saat itu, situasi di salah satu ruangan Museum Batik Pekalongan, Jawa Tengah, begitu ramai dengan kehadiran seratusan siswi pendidikan anak usia dini (PAUD).

Kehadiran para siswi PAUD se-Kota Pekalongan yang didampingi oleh guru sekolah ke Museum Batik ini memang bertujuan untuk mengikuti lomba dasar membatik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Pekalongan.

Kegembiraan tampak terlihat pada wajah anak-anak saat mereka memegang spidol dan kertas folio berukuran panjang sekitar 50 sentimeter dan lebar 40 sentimeter itu untuk menggambar batik.

Bermacam-macam imajinasi mereka tuangkan dalam gambar batik yang diinginkan. Penilaian lomba dasar membatik pun tidak menjadi hal yang utama karena tujuannya adalah menumbuhkan kecintaan anak-anak untuk melestarikan kerajinan batik sebagai warisan budaya bangsa.

Kemajuan teknologi yang semakin canggih dengan peranti-peranti yang bisa diperoleh anak-anak dengan mudah, seperti penggunaan telepon seluler. Bisa dikatakan mereka sekarang lebih menyukai instrumen yang memiliki tujuan dan fungsi praktis (gawai).

Jika hal ini tidak dapat dibendung, maka kelestarian batik ke masa depan bisa terancam punah karena regenerasi pembuat kerajinan batik tidak berjalan dengan baik.

Karena itu, melalui kegiatan lomba yang melibatkan anak-anak sekolah ini diharapkan bisa melahirkan bibit-bibit penerus pembatik asal Kota Pekalongan serta mampu meningkatkan semangat pelajar melestarikan budaya asli Nusantara.

Pengaderan pembatik melalui kegiatan lomba membatik ini akan memberikan nilai tambah pada mereka agar bisa mengetahui proses membatik maupun jenis-jenis batik yang pada akhirnya mampu menumbuhkan rasa cintai pada kerajinan batik.

Upaya pelestarian batik ini sangat berlasan karena Kota Pekalongan yang telah mendapat julukan sebagai Kota Kreatif Dunia dengan potensi batiknya dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

Masalah yang dihadapi saat ini adalah regenerasi pembatik, terutama pembatik tulis. Banyak dari pembatik tulis yang ada saat ini sudah berusia sepuh (tua).

Mereka sudah berpuluh tahun mengabdikan dirinya untuk membatik dan hasil batiknya pun tidak dipungkiri keindahannya.

Menciptakan regenerasi perajin batik dihadapkan pada kenyataan hampir sebagian besar generasi muda lebih memilih bekerja yang lebih mudah dan menghasilkan banyak uang.

Pekerjaan membatik itu memerlukan orang yang terampil dan berjiwa seni, sehingga tidak mudah bagi generasi muda apabila tidak sedini mungkin mendapatkan pelatihan cara membatik.

"Oleh karena, siapa lagi yang akan melestarikan batik?, jika tidak mulai sekarang kita melakukan regenerasi," kata Wali Kota Pekalongan Afzan Arslan Djunaid.

Regenerasi pembatik di Kota Pekalongan, memang belum menghadapi hambatan berarti. Kultur setempat yang memegang peran besar dalam menjaga perputaran tersebut.

Industri batik di Kota Pekalongan akan menghadapi masalah jika perajinnya setiap tahun, satu demi satu menghilang.

Berkurangnya para perajin itu, bisa karena sudah renta atau meninggal, ditambah belum berjalannya regenerasi dalam keluarga pembatik karena anak-anak perajin batik enggan menekuni profesi orang tuanya.

Dengan mengenalkan proses membatik sejak dini, khususnya kepada pelajar, mulai dari tingkat teman kanak-kanak hingga perguruan tinggi akan membangkitkan semangat untuk mengenal dan mencintai batik secara lebih dalam dan melahirkan pula keinginan untuk menjadi seorang perajin batik yang profesional dan andal.


Pandemi COVID-19

Kesenian membatik merupakan budaya yang sudah ada sejak zaman dahulu, khususnya di era Kerajaan Majapahit atau sejak mulai berkembangnya Islam di Pulau Jawa.

Karena itu, batik dijadikan warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) oleh badan PBB urusan kebudayaan, yaitu United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2 Oktober 2009.

Kerajinan batik menjadi industri kecil menengah (IKM) yang menjanjikan. Di Indonesia, perajin batik tulis yang terkenal dan tersebar di Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Semarang, dan Rembang.

Sayangnya, sejak pandemi Coronavirus Disease 2019 (COVID-19), industri kerajinan batik terkena imbasnya. Dampkanya, para perajin batik ada yang beralih profesi, seperti menjadi buruh tani, buruh pabrik, tukang batu, serta berjualan sayuran.

Hanya usaha kecil dan menengah (UKM) batik kelompok besar saja yang masih beroperasi. Itu pun dengan risiko mereka harus mengurangi jumlah karyawannya agar bisa tetap bertahan melangsungkan usahanya.


Keilmuan membatik

Dewan Pakar Batik Indonesia Romi Oktabirawa menilai rendahnya tingkat regenerasi batik karena selama ini masih kurang adanya pemahaman budaya tentang budaya batik bagi kaum milenial.

Kurangnya edukasi tentang membatik mengakibatkan pemahaman generasi muda, terutama dunia pendidikan kurang. Karena itu, perlunya para pemangku kepentingan batik harus bisa bekerj asama dengan dunia pendidikan.

Selama ini, masyarakat memandang batik hanya sebuah gambar, tetapi belum mengetahui sepenuhnya tentang sejarah dan muatan-muatan yang ada pada goresan maupun motif dari batik itu.

"Karena itu, kami mendukung perlunya batik sebagai muatan lokal di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga tingkat perguruan tinggi sebagai keilmuan, tidak semata sebagai industri produksi batik," katanya.

Bahkan, Ketua Bidang Bisnis dan Pameran Asosiasi Perajin dan Pengusah Batik Indonesia (APPBI) ini menilai perlu adanya sinergi antara pengusaha batik dengan pemerintah sebagai upaya melindungi warisan budaya asli Indonesia ini.

Selain itu, APPBI pun sering mengadakan pelatihan pada masyarakat, khususnya kaum milenial, ke sejumlah daerah, termasuk melalui zoom webinar.

Tujuannya adalah mengenalkan dunia teknologi, teknik membatik, teknik pewarnaan, teknik berjualan secara daring, dan desain motif batik kekinian yang lebih simpel atau mudah.

Regenerasi batik ini jangan sampai telat karena begitu orang mulai sadar, tetapi perajinnya sudah sepuh (lanjut usia), maka mereka tak sanggup membuat batik lagi.

Butuh jam terbang yang tinggi untuk membuat batik, sehingga regenerasi sejak usia dini sangat dibutuhkan untuk melestarikan warisan budaya asli Indonesia ini.

 

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022