Bandung (ANTARA) - Suporter sepak bola di Indonesia perlu diedukasi untuk menerima tim kebanggaan dalam kondisi menang atau kalah guna menghindari tragedi seperti di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, kata Pakar Sosiologi dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Hery Wibowo.

Di sisi lain, menurutnya sistem pertandingan, baik penyelenggara, pemain, dan pengadil, harus menjunjung tinggi sportivitas. Penegakan sportivitas dan penyelenggaraan pertandingan yang baik menurutnya dapat menularkan semangat sportivitas ke suporter.

"Penonton wajib terus diedukasi untuk menerima kemenangan dan kekalahan. Pertandingan yang berjalan sportif, akan dapat diterima baik oleh pendukung tim yang menang ataupun yang kalah," kata Hery dalam keterangan resmi Unpad di Bandung, Jawa Barat, Senin.

Menurutnya tragedi kerusuhan di Kanjuruhan itu merupakan fenomena "Crowd Behavior" yang dipicu oleh perilaku individu yang menimbulkan perilaku kolektif secara tidak normal.

Karena seseorang individu dalam menghasilkan crowd behavior menurutnya akan memiliki keberanian semu yang mampu memicu keberanian kolektif lainnya. Hal itu, menurutnya didorong oleh sifat suporter tim sepak bola yang memiliki militansi.

"Seorang individu dalam crowd akan cenderung merasa berkali-kali lipat lebih berani dalam melakukan sesuatu yang ada dipikirannya, ia akan tidak ragu-ragu dalam melakukan niatannya. Hal dapat terjadi karena ia merasa akan didukung oleh kelompoknya dalam segala tindakan yang dilakukannya," kata Hery.

Dalam kasus Kanjuruhan, menurutnya kekalahan tim Arema memicu pendukungnya menghasilkan perilaku crowd behavior. Pasalnya, kata dia, para suporter telah menganggap tim sebagai identitas sosial ataupun konsep diri mereka.

Ketika sesuatu terjadi ataupun menimpa tim, menurutnya hal itu seakan menyentuh harga diri (self esteem) ataupun sisi batin terdalam pendukungnya.

Maka dari itu, menurutnya potensi crowd behavior seyogianya perlu diredam sedini mungkin dengan tata kelola ataupun manajemen pertandingan yang baik. Bukan berarti, kata dia, antisipasi pengamanan yang dilakukan harus secara anarkis.

“Sehingga secara umum, kekesalan hingga kemarahan akan dapat mudah tersulut, karena jiwa dan pikiran suporter selalu berhubungan dengan tim dan seluruh dinamikanya," kata dia.


Baca juga: Kementerian PPPA: 33 anak meninggal dalam tragedi Kanjuruhan
Baca juga: Menkopolhukam paparkan nama-nama anggota TGIPF tragedi Kanjuruhan
Baca juga: Ketua DPD dukung investigasi tragedi Kanjuruhan segera dilakukan

Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Dadan Ramdani
Copyright © ANTARA 2022