Jakarta (ANTARA) - Walaupun sudah lama diterbitkan, buku berjudul A World without Islam karya Graham E Fuller, masih relevan dibicarakan untuk dijadikan refleksi saat ini. Dalam  diskusi ringan dengan Graham di Vancouver, Kanada (10/10/2022), penulis bertukar pikiran tentang Islam, Timur Tengah, dan tentu saja Indonesia.

Yang menarik dari pandangan Graham adalah bagaimana dia mencoba membantah pandangan Huntington berkaitan dengan Clash of Civilization. Huntington berpandangan bahwa perang-perang di masa depan bukanlah terjadi antarnegara tetapi justru antarperadaban. Karenanya, identitas budaya dan agama dipahami sebagai sumber utama konflik.

Dalam perspektif ini, identitas Islam menjadi tantangan besar bagi peradaban Barat. Akan terjadi semacam konflik peradaban. Apakah betul, identitas Islam menjadi sumber konflik?

Tentu pendekatan ini akan mengarahkan pada sebuah kesimpulan bahwa potensi konflik dan peperangan di masa depan adalah karena faktor ideologi dan identitas, mengabaikan faktor-faktor penting lainnya yang lebih fundamental, seperti geopolitik dan ekonomi misalnya.

Tanpa sadar dunia seakan digiring menuju pusaran ‘permainan’ antara pendukung Islamofascism maupun Islamophobia. Terjebak polarisasi.

Jika Islam itu tidak ada dalam sejarah dan tidak berkembang menjadi bagian dari identitas manusia, apakah hubungan antara Barat dan Timur Tengah akan benar-benar berbeda? Ini yang menjadi pertanyaan mendasar dari Graham, seorang penulis yang dulunya pernah menjadi wakil kepala badan intelejen AS (CIA) ini.

Graham menjawab bahwa kondisinya akan tidak jauh berbeda. Tentu pertanyaannya adalah apa yang menjadi faktor penyebab konfrontasi antara Barat dan Timur Tengah.

Penyerbukan antarbudaya

Pendekatan Graham dalam mengulas sejarah nampaknya menarik untuk dikaji. Bagaimana suatu peristiwa itu akan terjadi jika pelaku sejarah tertentu tidak ada? Dalam hal ini, dia mulai melakukan pertanyaan kritis dengan merekonstruksi sejarah seandainya minus Islam.

Dia memaparkan sejarah sebelum datangnya Islam di mana evolusi hubungan Barat dan Timur itu banyak dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik, perebutan kekuasaan di antara penguasa kawasan maupun perjuangan etnis yang tidak ada hubungannya dengan Islam.

Kepentingan-kepentingan itu terus bertahan hingga datangnya Islam dan tentu saja sampai saat ini. Tentu saja tidaklah benar juga jika mengatakan bahwa Islam tidak memengaruhi hubungan konfrontasi itu. Hanya saja dalam hal hubungan Timur-Barat itu, Islam sebenarnya hanya dijadikan bendera pada saat pertarungan dan konfrontasi itu mulai terjadi.

Berbeda dengan Huntington yang lebih menekankan adanya potensi konflik peradaban, Graham lebih percaya pada dialog dalam membangun peradaban. Sebelum Islam datang pun, dunia sudah dipenuhi oleh konflik. Kehadiran Islam justru membawa semangat rekonsiliasi.

Dalam sejarahnya, hubungan Islam dengan empat peradaban besar (Eropa Barat, Rusia, China dan India) mengambil pola akomodasi. Alih-alih terjadi konflik justru yang terjadi secara kultural adalah proses penyerbukan antarbudaya (cross pollination).

Pertemuan itu justru melahirkan harmoni dan keindahan. Politik dan perebutan kekuasaan pada akhirnya sering menggagalkan proses penyerbukan itu.

Jika melihat sepintas judulnya, memang bisa menimbulkan salah paham. Makanya istilah don’t judge the book from its cover, menjadi penting untuk cermati. Bisa saja judul tidak serta merta merefleksikan isi dan menjadikan pembaca penasaran untuk membacanya.

Dari sisi ini Graham nampaknya berhasil memancing keinginantahuan pembaca kecuali bagi orang-orang yang memang malas untuk membaca.

Indonesia Representasi Dunia Islam

Dalam percakapan penulis dengan Graham, sempat membahas mengenai pentingnya Indonesia hadir untuk merepresentasikan wajah Islam di dunia. Indonesia memiliki modal budaya yang sangat kuat yang tidak dimiliki oleh Muslim di kawasan Timur Tengah.

Pertemuan antara peradaban Barat dan Islam yang saat ini masih diwakili Timur Tengah dapat cenderung berwajah konfrontasi. Indonesia dalam hal ini bisa menjadi semacam ‘bridging “ yang menjembatani perbedaan Islam kontemporer di dunia Arab dan Barat. Indonesia bisa dengan dekat Timur Tengah dan mudah berkomunikasi dengan Barat.

Hanya saja pertanyaan besarnya bagaimana Indonesia bisa melakukan kapitalisasi potensi budaya yang begitu besar itu dan mulai berani berbicara dengan konfiden (percaya diri)  untuk merepresentasikan dunia Islam? Tentu perlu kerja sama di antara semua pihak di Indonesia untuk merealisasikan tugas besar ini. Semangat untuk saling menihilkan satu sama lain tentu harus dihilangkan.

Tidak diragukan, kehadiran Islam di Indonesia dalam panggung sejarah telah membawa semangat konsensus dan rekonsiliasi guna mempertahankan keutuhan NKRI.

Graham bahkan memuji Pancasila sebagai modal bangsa yang tidak dimiliki oleh negara-negara Arab. Indonesia sebagai negara Muslim demokrasi terbesar diikat oleh konsensus bersama yaitu Pancasila. Kuncinya adalah Indonesia harus banyak berbicara dan suara Islam wajah Indonesia harus terdengar lebih nyaring.

Jika dunia luar banyak memuji Pancasila dan berbagai potensi besar Indonesia di dunia internasional maka tentu menjadi aneh jika masih ada di antara kita masih mendebatkan warisan pemikiran luar biasa dari para pendiri bangsa ini. Padahal yang perlu dilakukan adalah merumuskan strategi memperkenalkan Pancasila sebagai model ke publik internasional.

Detail beberapa strategi penting yang dapat dilakukan oleh negara Indonesia dalam memainkan peran penting ini akan penulis sampaikan dalam tulisan berikutnya setelah kunjungan ke beberapa komunitas Muslim Indonesia di Kanada dan Amerika Serikat.

Pandangan-pandangan para Indonesianis dan peneliti Islam maupun Timur Tengah yang penulis temui di sana juga akan menjadi penguat tulisan berikutnya.

*) Yon Machmudi, PhD adalah Kepala Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah dan Islam SKSG UI, Dosen Prodi Arab FIB UI, dan Direktur Eksekutif Inisiatif Moderasi Indonesia
 

Copyright © ANTARA 2022