Badung (ANTARA) -
Aktivis perempuan Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid berharap pemerintah memberikan terapi psikologis bagi korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur untuk menghilangkan trauma yang dialami ratusan korban, terutama anak-anak.
 
Yenny Wahid di Badung, Nusa Dua, Bali, Rabu, menyatakan pentingnya pemerintah melakukan pendampingan dan penyembuhan trauma kepada korban, serta memastikan mereka menerima terapi supaya tidak menimbulkan perasaan dendam dari para korban.

"Apalagi perasaan itu muncul terhadap negara, terhadap institusi negara. Karena itu, kami merekomendasikan pendampingan terhadap korban terutama anak-anak yang masih kecil supaya mereka lebih mengerti apa yang menjadi masalah, apa yang terjadi, tragedi-tragedinya dan bisa menerima kenyataan dan tidak menyalahkan negara atas peristiwa itu," kata dia.
 
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, korban meninggal dunia akibat tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur sebanyak 131 orang, sementara 440 orang mengalami luka ringan dan 29 orang menderita luka berat.

Dari laporan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar, jumlah korban anak yang meninggal dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, sebanyak 35 jiwa, serta banyak anak mengalami trauma.
 
"Ada anak-anak yang kehilangan kedua orang tuanya, ada anak-anak yang kehilangan anaknya, ada anak yang kehilangan saudaranya tepat di depan matanya. Ini tentu trauma yang berkepanjangan dan itu harus dikeluarkan trauma itu, harus disembuhkan, tidak bisa dibiarkan begitu saja karena trauma itu akan membuat dia mudah sekali untuk diradikalisasi ke depan," kata Yenny Wahid.

Baca juga: Pemkab minta korban Kanjuruhan alami keluhan segera ke rumah sakit

Yenny mengapresiasi langkah polisi untuk meminta maaf. Hal itu, sebagai suatu langkah yang baik di mana ada kerendahan hati untuk mengakui kesalahan.

Tentunya, kata dia, yang diharapkan publik bukan cuma permintaan maaf sebagai gestur simbolik, tetapi juga pembenahan sistemik bahwa standar operasional prosedur ke depan dalam menangani kejuaraan sepak bola yang notabene memiliki potensi untuk rusuh.
 
"Protap keamanan yang persuasif, mengedepankan aksi persuasi bukan dengan kekerasan. Itu tentu menjadi pegangan bagi setiap aparat. Itu harapan kita," kata dia.
 
Ia memandang penanganan terhadap anak-anak yang mengalami trauma dalam tragedi Kanjuruhan penting untuk difasilitasi meskipun disadari pekerjaan seperti itu memang membutuhkan proses kerja yang panjang.

 Baca juga: Komnas HAM jadwalkan minta keterangan Direktur LIB-Indosiar pada Kamis

Sebab, katanya, kalau tidak dilaksanakan, maka Indonesia akan punya masyarakat yang penuh trauma dan itu berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.
 
Menurut hasil penelitian Wahid Foundation, kata Yenny, anak-anak muda yang potensial untuk diradikalisasi adalah anak-anak muda yang mudah mengalami rasa gelisah, keputusasaan, merasa ketidakadilan menimpa dirinya, merasa dizalimi.

"Itu adalah faktor terkuat seseorang mudah sekali untuk diradikalisasi," katanya.

Salah satu cara untuk mengatasi itu, katanya, dengan pendekatan secara emosional, memberikan pendampingan untuk memastikan dia tidak dendam agar merasa nyaman dalam hidup.
 
"Itu kerja panjang tetapi harus kita lakukan sebagai bangsa," kata Yenny Wahid.

Baca juga: TGIPF temukan tren saling lempar tanggung jawab Tragedi Kanjuruhan
Baca juga: Mensos serahkan bantuan korban tragedi Kanjuruhan asal Blitar
Baca juga: KPPPA: Korban anak yang meninggal di tragedi Kanjuruhan jadi 35

Pewarta: Rolandus Nampu
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022