Magelang (ANTARA News) - Peningkatan status aktivitas Gunung Merapi di perbatasan Jateng-DIY dari Waspada ke Siaga Merapi mengindikasikan adanya peluang besar gunung berapi tipe awan panas itu bakal meletus. "Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, gejala-gejala kenaikan ini selalu diikuti letusan. Kondisi semacam ini adalah gejala awal meletusnya gunung tersebut," kata Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta Ratdomopurbo kepada ANTARA News usai sosialisasi perkembangan aktivitas vulkanik Merapi kepada jajaran Pemda Kabupaten Magelang di Magelang, Kamis. Sejak pertengahan Maret 2006 pihak BPPTK menaikan status Merapi dari Aktif Normal ke Waspada, sedangkan mulai Rabu (15/4) pukul 15.00 WIB status Merapi naik lagi menjadi Siaga. Status tertinggi Merapi sebelum meletus adalah Awas Merapi. Ia menyatakan tidak bisa memastikan kapan Merapi bakal meletus karena proses kenaikan aktivitas vulkaniknya bervariasi. "Minimal tiga bulan maksimal 19 bulan. Yang sekarang ini sebenarnya kenaikannya mulai Juli 2005, jadi sampai sekarang sudah sembilan bulan. Padahal dari pengalaman awal kenaikan sampai meletus itu yang cepat tiga bulan, ada yang terlambat sampai 19 bulan," katanya. Pihaknya memutuskan menaikan status Merapi dari Waspada menjadi Siaga antara lain karena terjadi gempa relatif besar di Merapi, yang artinya gempa dangkal karena magma sudah berada di bawah puncak gunung itu. Ia menyatakan, kemungkinan besar Merapi meletus lagi setelah letusan terakhir Februari 2001 dengan semburan awan panas ke arah Timur dan hembusan abu hingga Surakarta. Sedangkan status Siaga Merapi, katanya, sebenarnya sebagai prakiraan terhadap letusan karena keterbatasan ilmu pengetahuan. "Sehingga diperlukan status, diperlukan waktu untuk menyiapkan diri. Filosofi status Merapi itu sebenarnya seperti itu, jadi batas kita menyiapkan diri," katanya. Ia mengaku saat ini sudah tidak terlihat lagi tanda-tanda alam khususnya pergerakan binatang di hutan-hutan Merapi ketika hendak meletus karena hewan-hewan itu sekarang sudah tidak ada. "Dulu binatang turun kalau Merapi akan meletus, tetapi sekarang tidak ada lagi binatang. Kita yang berpengalaman naik Merapi jarang menemui binatang, kijang, harimau kecil, suara-suara kijang semakin jauh." katanya. Hingga saat ini, katanya, lava pijar belum terlihat meleleh dari puncak Merapi. Pada pengalaman letusan Merapi tahun-tahun lalu selalu terlihat lelehan lava pijar dari puncak menuju tubuh Merapi karena magma memang sudah sampai permukaan kawah. Ia menegaskan, kunci mitigasi bencana alam termasuk letusan gunung api adalah informasi awal yang bisa diperoleh. Tetapi informasi awal bencana bukan dimaksudkan membuat orang menjadi takut, cemas dan panik melainkan sebagai petunjuk perlunya suatu persiapan menghadapi bencana alam. Ia mengatakan, jarang Gunung Merapi berhenti beraktivitas selama lima tahun, sehingga kenaikan aktivitas vulkanik saat ini harus dipertimbangkan secara seksama. Debit magma dari perut Merapi mengalir, tidak harus keluar ke permukaan, setiap tahun mencapai sekitar 1,2 juta meter kubik. Wajar jika Merapi terlalu lama berhenti beraktivitas lalu mengakibatkan deformasi dan gempa besar karena volume magma yang bakal dikeluarkan juga besar. Ia mengatakan, letusan Merapi selalu disertai awan panas. Gunung Merapi dikenal dunia sebagai gunung berapi tipe awan panas. Berdasarkan pengalaman letusan Merapi masa lampau, katanya, jarak semburan awan panas jarang melebihi delapan kilometer dari puncak gunung. "Memang ada yang pernah sembilan sampai 13 kilometer, tetapi itu jarang sekali. Jadi antisipasi awal yang pada umumnya terjadi, kemudian kalau yang istimewa-istimewa terjadi itu harus mengandalkan pemantauan lebih detil," kata Ratdomopurbo.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2006