Palembang (ANTARA) - Peneliti Pusat Riset Kependudukan-BRIN Sari Seftriani M.Sc mengatakan ekonomi hijau salah satu cara mengatasi tantangan sosial dan demografi yang dihadapi Indonesia sekarang ini.

"Ekonomi hijau akan mendorong pergerakan industri hijau dengan prinsip efisiensi dalam proses produksi dan efektivitas dalam penggunaan sumber daya alam berkelanjutan bersifat inklusif," katanya usai melakukan kegiatan diseminasi hasil penelitian di Palembang, Kamis.

Dia menjelaskan hasil Sensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia terus mengalami peningkatan, meskipun data menunjukkan laju pertumbuhan penduduk terjadi penurunan.

Jika dilakukan penelaahan lebih mendalam, katanya, proyeksi penduduk memperlihatkan Indonesia akan masuk dalam populasi penduduk menua (aging population) serta mobilitas penduduk yang semakin tinggi.

Dalam ekonomi hijau, kata dia, penting untuk dapat dihasilkan produk yang ramah lingkungan serta penerapan teknologi ramah lingkungan.

"Tidak lupa juga praktik ekonomi dengan dukungan kearifan lokal," katanya.

Upaya-upaya tersebut antara lain penerapan produksi bersih konservasi energi, "eco- design", proses daur ulang yang rendah emisi sehingga emisi yang dihasilkan menjadi minimal.

Baca juga: Kemendag selaraskan kebijakan perdagangan dengan pembangunan hijau

Oleh sebab itu, katanya, pelibatan aspek demografi yang menekankan dinamika kependudukan menjadi penting dalam paradigma ekonomi hijau.

Pelibatan ini, kata dia, bukan hanya dari sisi kuantitas, namun yang jauh lebih penting kualitas kependudukan.

Ia mengatakan temuan pada riset kerja sama BPS-BRIN memperlihatkan pola pengembangan ekonomi hijau di Indonesia masih bersifat "project driven", tidak terorganisasi dengan baik, skala kecil dan belum melakukan optimasi pada aset demografi.

Implementasi konsep ekonomi hijau yang ada saat ini, katanya, lebih menekankan pada transformasi ke arah teknologi tinggi/canggih dan bagaimana meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) agar menyesuaikan dengan teknologi tersebut sehingga akan membuka lapangan kerja hijau.

Menurut dia, pembangunan ekonomi hijau di Indonesia perlu memperkuat tiga hal penting, yakni pertama, kearifan antargenerasi, proses transisi dan transformasi menuju Indonesia yang berkekuatan ekonomi hijau, membutuhkan dialog antargenerasi untuk mengisi ruang pengetahuan dan "knowledge brokering" untuk mendukung percepatan dan keberlanjutan.

Kedua, institusi sosial akan mendukung dan mengoptimalkan pembangunan ekonomi hijau di Indonesia yang saat ini masih memiliki keterbatasan pada modal.

Baca juga: Pengusaha muda Kaltara dianggap garda terdepan pelaksana ekonomi hijau

Misalnya, studi kasus paring-paring gurita (perikanan di Sulawesi Tenggara) dan upaya konservasi hutan seperti tradisi resan berdasarkan nilai kepercayaan seperti di Yogyakarta.

Ketiga, pengenalan teknologi yang tepat guna, sebagai contoh di sektor limbah, teknologi pirolisis untuk mengubah plastik menjadi solar belum berjalan optimal karena biaya gas untuk menggerakkan mesin ini jauh lebih mahal dibandingkan solar yang dihasilkan

Hasil kajian kerja sama BPS dan BRIN akan terus disosialisasikan melalui kegiatan diseminasi yang diselenggarakan pada Oktober hingga November 2022.

Setelah di Palembang, kegiatan diseminasi dilanjutkan di enam kota lainnya, yakni Semarang, Balikpapan, Makassar, Ambon, Kupang, dan Manokwari.

Presenter pada diseminasi di Palembang untuk region Sumatera disampaikan oleh Deshinta Vibriyanti MS dan Tria Agggita Hafsari MURP, kata Koordinator Penelitian Kerja sama BPS-BRIN itu.

Baca juga: BNI dukung ekonomi hijau lewat Program Jejak Kopi Khatulistiwa
Baca juga: Bahlil akui hilirisasi tersandung kesiapan SDM

Pewarta: Yudi Abdullah
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2022