Jakarta (ANTARA) - Tanggal 10 Oktober 2022 story whatsapp dan Instagram saya tiba-tiba dipenuhi postingan tentang “World Mental Health Day” dari rekan-rekan dosen psikologi, psikolog, ilmuwan psikologi, sarjana psikologi, dan mahasiswa psikologi.

Saya tidak menafikan bahwa postingan tentang hari kesehatan mental dunia lebih banyak berasal dari mereka yang pernah mengecap bangku kuliah psikologi, sedangkan masyarakat biasa dari kalangan non-psikologi belum terlihat mengunggah postingan hari kesehatan mental, setidaknya pada story Whatsapp dan Instagram pribadi saya.

Seruan akan pentingnya kesehatan mental perlu didengungkan lebih keras lagi, momen ini pertama kali dilakukan oleh Federasi Kesehatan Mental Dunia (WFMH) Tahun 1992. Tujuan utama hari kesehatan mental adalah untuk memberi edukasi pada masyarakat mengenai kesehatan mental dan menjernihkan pandangan masyarakat tentang penanganan gangguan mental yang sering dianggap negatif.

Sudah semestinya masyarakat diajak bersama untuk sadar mengenai pentingnya kesehatan mental.
Kesadaran tentang kesehatan mental memerlukan tindakan konkret dari sejumlah lembaga yang memiliki wewenang dalam psikologi; Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), program studi psikologi di berbagai perguruan tinggi, para pemangku kepentingan dari instansi pemerintah maupun swasta, lembaga swadaya, komunitas masyarakat, serta biro-biro psikologi yang selama ini berada di garda terdepan dalam penanganan masalah psikologi.

Pada tulisan ini, penulis ingin berbagi satu pendekatan kesehatan mental komunitas dalam upaya promosi kesehatan mental dan pencegahan gangguan mental.

Jika merujuk data riset kesehatan dasar Tahun 2018, menunjukkan bahwa ada 19 juta orang mengalami gangguan emosional dan sekitar 12 juta orang mengalami depresi. Data yang berkaitan dengan gangguan mental juga disampaikan oleh lembaga lain pada tahun yang berbeda.

Kepolisian Republik Indonesia Tahun 2020 merilis angka bunuh diri mencapai 671 kasus di Indonesia. Tahun 2021 berdasarkan data Potensi Desa (Podes) Badan pusat Statistik (BPS) ada 5.787 orang melakukan bunuh diri dan percobaan bunuh diri.

Sejumlah wilayah rentan, seperti Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta, mengonfirmasi selama Tahun 2022 ada sekitar 20 orang bunuh diri.

Hari Sabtu, 8 Oktober 2022, viral kasus bunuh diri seorang mahasiswa baru kampus ternama di Yogyakarta. Pria berusia 18 tahun itu nekat melompat dari lantai 11 di salah satu hotel di Sleman, Yogyakarta.

Korban meregang nyawa dengan bersimbah darah, polisi langsung membawa korban ke Rumah Sakit Bhayangkara Sleman. Secarik kertas ditemukan dalam dompet korban berisi surat pemeriksaan psikologis korban.

Bunuh diri merupakan puncak dari hilangnya harapan terhadap berbagai masalah hidup, serta tidak adanya solusi dalam mengatasinya. Nevid, Rathus, dan Greene dalam buku “Psikologi Abnormal” mengatakan bahwa bunuh diri rentan terjadi pada individu yang mengalami gangguan psikologis, seperti depresi, mood, dan bipolar.

Selain itu, bunuh diri bisa terjadi karena ketergantungan alkohol dan obat-obatan, skizofrenia, panik, kepribadian antisosial, stres, riwayat orang tua atau keluarga yang bunuh diri, serta kehilangan orang-orang yang kita cintai.

Terlepas dari motif individu mengakhiri hidup dengan bunuh diri, kita cenderung melihat gangguan mental dengan pendekatan individu, yakni dengan melihat apa penyebab, gejala dan dampak yang dirasakan oleh individu. Kita perlu mengambil fokus lebih luas dari pendekatan individu ke pendekatan komunitas, yang berusaha memandang fenomena gangguan mental dalam lingkup komunitas.

Psikologi komunitas berusaha melihat fenomena psikologi secara holistik, yakni dengan mengaitkan fenomena tersebut dengan berbagai disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi, komunikasi, dan ilmu lainnya. Selain itu cara kerja psikologi komunitas dengan melibatkan pengetahuan dan keterampilan psikologi, dan kemampuan sosial untuk memecahkan masalah.

Salah satu wujud nyata dari kesehatan mental komunitas adalah terbentuknya komunitas psikologi, yang mana komunitas tersebut mampu menyusun program psikoedukasi untuk promosi, pencegahan, dan penanganan masalah psikologis pada kelompok masyarakat.

Penyusunan program psikoedukasi untuk komunitas dilakukan dengan enam tahap. Pertama, memahami secara rinci masalah mental, penyebab, situasi lingkungan, dan mengidentifikasi populasi yang berisiko.

Kedua, menjelaskan gambaran perilaku dan lingkungan, merumuskan tujuan perubahan perilaku dan lingkungan, serta menentukan target program.

Ketiga, mengidentifikasi metode program berbasis teori dan temuan empiris. Keempat, komponen program sesuai dengan kebutuhan masyarakat, relevan dengan situasi dalam komunitas.

Kelima, mengembangkan strategi pelaksanaan program untuk memfasilitasi anggota komunitas, mengadaptasi program yang sudah bagus, dan menyusun program jangka panjang. Keenam, evaluasi untuk menilai ketercapaian tujuan, hasil, dan kinerja.

Penyusunan program bisa dilakukan banyak pihak, mulai dari instansi pemerintah yang cakupan kerjanya meliputi isu kesehatan mental, seperti dinas pemberdayaan perempuan dan anak, Kementerian Sosial, Badan Narkotika Nasional, dan instansi lainnya. Bisa juga dilakukan oleh lembaga swadaya dan NGO, biro psikologi, dan organisasi mahasiswa.

Komunitas atau lembaga psikologi perlu terjun langsung ke kelompok yang berisiko. Selama beberapa tahun ini, dalam satu mata kuliah kesehatan mental komunitas, penulis mengajak mahasiswa untuk membuat komunitas psikologi yang tujuan utamanya adalah menyusun program psikoedukasi ke berbagai populasi warga di Jambi.

Topik komunitas disesuaikan dengan lokasi dan masalah. Topik perundungan dilakukan pada siswa SMP dan SMA, disfungsi keluarga pada beberapa wilayah di Jambi yang paling tinggi angka perceraiannya, pernikahan dini pada masyarakat pinggiran Kota Jambi, adiksi narkoba pada wilayah peredaran narkoba, seperti Pulau Pandan.

Untuk tema dampak kekerasan dan penyimpangan seksual dilakukan pada korban di Centra Alyatama, Kementrian Sosial Republik Indonesia.

Kata kunci bagi kesehatan mental komunitas adalah kolaborasi antarkomunitas, praktisi, pemangku kepentingan dan masyarakat. Salah satu contoh kolaborasi berdasarkan wawancara dengan seorang relawan pada Lembaga Swadaya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tentang program psikoedukasi kesehatan reproduksi. Kolaborasi dilakukan antar-PKBI, puskesmas, masyarakat, dan praktisi berupa dokter dan psikolog.

​​​​​PKBI berperan merancang program psikoedukasi berupa konseling, layanan kesehatan, sharing session, ice breaking, dan pemberian materi. Dari pihak puskesmas memfasilitasi lokasi, mengumpulkan remaja, menyiapkan perlengkapan dan konsumsi. Sedangkan dari masyarakat mengikuti kegiatan dengan antusias.

Kegiatan psikoedukasi PKBI juga berkaitan dengan kesehatan mental pada anak dengan bantuan hukum (ABH) pada Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II Muara Bulian, Provinsi Jambi.

Kegiatan yang dilakukan komunitas adalah konseling masalah psikologis dan art therapy untuk melatih pengungkapan diri dan stabilitas emosi pelaku.

Dalam penguatan kesehatan mental komunitas, kita tidak hanya mengandalkan praktisi psikologi, akan tetapi juga pembentukan komunitas dengan melibatkan banyak pihak yang fokus terhadap kesehatan mental menjadi penting untuk meningkatkan kesadaran warga tentang kesehatan mental, seraya mencegah dan mengurangi problem psikologis yang kian parah, baik di perkotaan maupun di perdesaan.

*) Agung Iranda SPsi MA adalah Pengurus HIMPSI Jambi dan dosen psikologi di Universitas Jambi

 

Copyright © ANTARA 2022