Jika masalahnya psikologis, lansia tidak terlalu ingin macam-macam tapi mereka hanya ingin dianggap ada
Denpasar (ANTARA) - Dokter spesialis kesehatan jiwa (Psikiater) Made Wedastra mengingatkan keluarga memiliki peran besar untuk menanggulangi depresi yang menimpa kalangan lanjut usia (lansia) pada Hari Lansia Nasional yang diperingati setiap 29 Mei.

“Jika masalahnya psikologis, lansia tidak terlalu ingin macam-macam tapi mereka hanya ingin dianggap ada,” kata Wedastra di Denpasar, Senin.

Menurutnya, perhatian dari keluarga menjadi salah satu yang dibutuhkan para lansia sehingga mereka merasa nyaman saat usia senja.

Psikiater yang berpraktik di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli  itu menambahkan depresi menjadi salah satu keluhan yang sering dialami lansia selain demensia atau pikun.

Baca juga: Dokter Jiwa: Kenali gejala depresi terselubung pada lansia

Adapun gejala keluhan itu diantaranya mudah marah, perasaan tak menentu, berkata sendiri, gelisah, mengumpulkan sampah, hingga keluyuran dan tidak kembali ke rumah. Selain itu ada juga gejala disertai halusinasi dan gangguan berpikir.

Ia menambahkan depresi pada lansia berbeda dengan depresi manusia dewasa umumnya yang menangis seharian. Namun, lanjut dia, depresi pada lansia lebih kepada sakit fisik yang tidak kunjung sembuh dan sudah diobati namun tidak membaik.

“Ini terjadi karena pada lansia kemampuan mereka berkurang, sehingga tidak menutup kemungkinan lansia yang baru pensiun, kemudian kehilangan kebiasaan mereka bekerja atau kehilangan kendali dan takut merasa kehilangan,” ucapnya.

Baca juga: Pakar: "Post power syndrome" dapat sebabkan lansia depresi terselubung

Ia menambahkan keluarga dianjurkan mengajak lansia ke ahli apabila ada gangguan tidur, gangguan makan dan perawatan diri, keinginan mencelakai diri dan orang lain, atau keluyuran yang berisiko jatuh atau kecelakaan.

Penanganan dari ahli kejiwaan, lanjut dia, disesuaikan dengan kondisi psikis pasien, misalnya membutuhkan obat jika terjadi gangguan tidur, halusinasi, gelisah atau keinginan mencederai diri dan orang lain.

Selain terapi, obat juga dilanjutkan dengan konseling atau psikoterapi berupa penguatan ego atau modifikasi lingkungan dan jika depresi ringan atau cemas cukup dengan konseling dan tanpa obat.

Baca juga: HLUN ke-27, Mensos Risma ingatkan jangan ada lagi anak buang orang tua

“Menangani disesuaikan dengan sakitnya jika dominan sakit fisik maka mau tidak mau membutuhkan perhatian penuh keluarga, jika tidak memungkinkan bisa dengan perawatan melalui orang ketiga,” katanya.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi depresi tertinggi ada pada lansia dengan besaran usia 55-64 tahun mencapai 6,5 persen, usia 65-74 tahun mencapai delapan persen, dan usia di atas 75 tahun sebesar 8,9 persen.

Riskesdas juga menyebutkan lansia berisiko untuk masalah gizi terutama gizi lebih, gangguan mental emosional, depresi, serta demensia.

Berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, jumlah lansia pada 2022 diperkirakan mencapai 31,2 juta jiwa.

Baca juga: Kemensos siapkan duta cinta lansia di usia dini jelang HLUN
 

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2023