Jakarta (ANTARA) - Hari ini, Minggu, 16 Oktober 2022, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusia 77 tahun.

PBB mendirikan FAO pada 16 Oktober 1945 dengan tujuan untuk menyelesaikan permasalahan pangan dan pertanian dunia. Tonggak sejarah itu membuat setiap tanggal 16 Oktober diperingati warga dunia sebagai Hari Pangan Sedunia.

Peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini berhadapan dengan situasi menantang. Dunia disebut-sebut sedang menuju pada krisis global akibat tekanan bersamaan dari 4 penjuru mata angin.

Pertama, resonansi konflik Rusia-Ukraina sebagai negara penghasil pangan, pupuk, dan energi fosil penting. Konflik yang belum juga berujung itu berdampak pada distribusi pangan, pupuk, dan energi.

Kedua, perubahan iklim yang membuat produksi pertanian terganggu karena banjir, kekeringan, maupun ledakan hama dan penyakit yang sulit diprediksi.

Ketiga, degradasi lahan akibat praktik pertanian yang kurang ramah lingkungan selama bertahun-tahun seperti penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang berlebihan.

Dampaknya produktivitas pertanian seperti stagnan, bahkan pada beberapa kasus merosot meskipun beragam input berupa inovasi dan teknologi baru yang mampu mendongkrak produktivitas telah ditemukan.

Benih unggul temuan para ilmuwan seperti tak berdaya berhadapan dengan lahan yang terdegradasi. Terakhir, keempat, dampak pandemi COVID-19 masih terasa meskipun titik terang mulai terlihat.

Tekanan krisis global itu dirasakan oleh semua negara baik negara lemah, negara berkembang maupun negara maju termasuk Indonesia. Beruntung sektor pertanian Indonesia memiliki rekam jejak yang baik ketika Indonesia menghadapi tekanan COVID-19.

Sektor pertanian tetap tumbuh positif meskipun sektor lainnya negatif. Pengalaman itu hendaknya menjadi modal para praktisi pertanian untuk tetap optimistis menghadapi 4 tekanan tersebut.


Tiga Strategi

Tulisan ini hanya menyoroti kelangkaan pupuk yang mungkin terjadi di masa depan dalam waktu dekat. Paling tidak terdapat 3 strategi yang dapat dilakukan agar Indonesia tetap tangguh menghadapi kelangkaan pupuk.

Dengan 3 strategi tersebut Indonesia sebetulnya tidak perlu terlalu tergantung pada sumber-sumber pupuk di luar negeri.

Pertama, kelangkaan pupuk anorganik dapat disiasati dengan memanfaatkan sumber-sumber pupuk alternatif seperti pupuk organik dan pupuk anorganik lokal.

Kehilangan nutrisi tanah paling besar terjadi karena biomasa seperti bunga, buah, daun, cabang, batang, dan akar yang terangkut panen. Pemberian pupuk ke tanah bertujuan untuk mengembalikan nutrisi yang hilang dari tanah karena terbawa panen.

Biomasa dari lahan kemudian diangkut saat panen ke pasar untuk kemudian didistribusikan pada konsumen. Di pasar sebagian biomasa menjadi sampah pasar karena proses sortir untuk memilih hasil panen yang baik saja yang dijual pada konsumen.

Maknanya adalah banyak nutrisi pada biomassa berujung menjadi sampah karena pengelolaannya kurang baik.

Pengelolaan sampah pasar organik secara terbuka membuat cairan nutrisi dari biomassa hilang lalu mencemari lingkungan terutama perairan. Sampah pasar organik yang diolah menjadi kompos sejatinya tinggal menyisakan bahan-bahan yang sudah minim nutrisi.

Tentu kompos tersebut tetap berguna diberikan ke dalam tanah, tetapi sebagai pemasok nutrisi kandungannya sangat rendah. Kompos tersebut hanya memperbaiki sifat fisika tanah.

Pengolahan sampah pasar organik yang baik adalah sistem tertutup yang dimulai dengan pemilahan serta menampung cairan dari biomassa yang mengandung nutrisi. Cairan nutrisi tersebut dapat menjadi pupuk cair atau dicampurkan kembali dengan kompos asal bahan organik padat yang telah jadi.

Kedua, pasokan pupuk anorganik dapat dilengkapi dengan pupuk anorganik yang tersedia di sekitar tanah air.

Dr. Kusumo Nugroho, mantan peneliti tanah dari Kementerian Pertanian, menawarkan alternatif pemupukan dengan stonemeal alias debu batu atau tepung batu yang kaya fosfor, kalsium, magnesium, kalium, dan mikronutrien lainnya.

Caranya, batuan yang kaya unsur tersebut dihaluskan menjadi tepung agar dapat berinteraksi dengan tanah sehingga berperan menjadi pupuk.

Menurutnya, banyak penelitian mengungkap stonemeal memberi banyak keuntungan ekonomi dan lingkungan pada pertanian jagung, padi, singkong, tebu, buah dan sayuran dibanding pemupukan konvensional.

Tentu dibutuhkan ahli tanah dan geologi untuk mengidentifikasi lokasi yang berlimpah batuan yang kaya nutrisi tersebut.

Batu yang berasal dari daerah vulkan biasanya mengandung nutrisi sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan anorganik.

Sejarah penggunaan tepung batu di Indonesia sebetulnya bukan hal baru. Pemanfaatan batuan fosfat atau batuan kapur yang hanya dihaluskan telah banyak dilakukan oleh petani-petani di Indonesia.

Ketiga, Indonesia terutama Pulau Jawa diuntungkan karena memiliki banyak gunung berapi yang selalu memuntahkan material vulkanik.

Pascaletusan gunung berapi biasanya penduduk setempat menambang material vulkanik untuk bahan bangunan.

Mereka memilih material berukuran pasir untuk bahan bangunan, tetapi membiarkan material vulkanik yang lebih halus yaitu yang berukuran abu. Material halus itu sejatinya berpotensi digunakan sebagai pupuk anorganik.

Selama berabad-abad material tersebut selalu meremajakan tanah di seputar gunung berapi sehingga kesuburannya tetap terjaga. Gunung berapi tersebut seperti Gunung Sinabung, Gunung Merapi, Gunung Semeru sebenarnya adalah pabrik pupuk gratis yang disediakan Tuhan untuk Bangsa Indonesia.

Tentu harus dilakukan identifikasi kandungan nutrisi pada abu yang dimuntahkan gunung-gunung berapi di Indonesia agar penggunaannya sebagai pupuk di tanah-tanah pertanian Indonesia dapat sesuai dengan kebutuhan. Selamat Hari Pangan Sedunia.


*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc; Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional.

 

Copyright © ANTARA 2022