Jakarta (ANTARA) - Majelis Masyayikh sebagai lembaga independen dan mandiri yang mewadahi pesantren di Indonesia, berkomitmen untuk tetap menjaga keberagaman pesantren sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang pesantren.

"Pesantren itu sebagian besar berkembang dari bawah masing-masing punya keunikan. Keberagaman itu yang kita jaga," kata Ketua Majelis Masyayikh KH Abdul Gofarrozin dalam rangka menyambut Hari Santri melalui keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.

Baca juga: Fatayat NU Jaksel luncurkan buku "Aku Bangga Menjadi Santri"

Abdul Gofarrozin atau akrab disapa Gus Rozin mengatakan penerbitan undang-undang pesantren itu bertujuan untuk menjaga tradisi keilmuan pesantren yang khas dan unik.

Pondok pesantren ke depan bukan sekedar lembaga pendidikan keagamaan saja namun juga berfungsi sebagai lembaga dakwah dan juga pemberdayaan masyarakat, ucap Gus Rozin.

Gus Rozin yang didampingi anggota Majelis Masyayikh lain, seperti KH Jaman Nurchotib Mansur, KH A. Muyiddin Khotib, dan Hj Amrah Kasim, serta Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Waryono Abdul Ghafur mengatakan kehadiran majelis di sini untuk merumuskan dan menetapkan sistem penjaminan mutu pendidikan pesantren.

Gus Rozin membenarkan tugas yang diembannya itu bukan perkara mudah mengingat berdasarkan data Kementerian Agama RI jumlah pondok pesantren di Indonesia lebih dari 36 ribu dengan jumlah santri empat juta yang mana masing-masing pesantren memiliki kekhasan yang berbeda-beda.

Baca juga: DKI salurkan rak hidroponik ke pesantren dalam rangka hari santri

Terkait hal itu, Majelis Masyayikh bekerja sama dengan Dewan Masyayikh yang ada di masing-masing pesantren berpegang kepada empat prinsip arah kebijakan pendidikan pesantren yakni pertama fleksibilitas untuk menjaga keberagaman.

Lantas produk dan kebijakan menganut prinsip kriteria minimal dalam arti masing-masing pesantren pasti mampu melampauinya sedangkan untuk kriteria atasnya tidak terhingga agar pesantren bisa lebih berkreasi dan berinovasi.

Tak hanya itu, prinsip pendidikan pesantren bersifat pemberdayaan sehingga bagi pesantren yang belum memenuhi kriteria minimal bekerja sama dengan Dewan Masyayikh akan menerbitkan rekomendasi agar bisa melampaui kriteria tersebut.

Serta terakhir, akuntabilitas atau transparansi terkait dengan kajian akademik, diskusi dengan pemangku kepentingan termasuk asosiasi, diskusi pakar, dan uji coba sehingga kebijakan majelis bisa diterima oleh masing-masing pesantren.

Baca juga: Ma'ruf Amin: Program pemerintah berbasis pesantren percepat PEN

Dengan empat prinsip itu diharapkan keluaran (output) di masing-masing pesantren adalah peningkatan tata kelola, peningkatan sumber daya manusia, dan pendanaan.

Sedangkan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Waryono Abdul Ghafur membenarkan anggaran yang dikucurkan bagi pesantren baik melalui APBN maupun APBD belum terlalu signifikan, justru alokasi anggaran terbesar berasal dari kementerian dan lembaga lain.

Dia mencontohkan Kementerian Ketenagakerjaan RI yang memiliki Balai Latihan Kerja (BLK) bagi pesantren dengan alokasi anggaran Rp1 miliar untuk membangun satu unit fasilitas tersebut.

Anggaran terbesar bagi pesantren juga disediakan Kementerian Koperasi dan UKM untuk pengembangan koperasi di pesantren, Kementerian Kesehatan RI untuk fasilitas kesehatan santri, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang menyediakan fasilitas rusun sewa bagi santri.

Kementerian Agama sendiri menyediakan fasilitas bea siswa bagi santri berprestasi baik berasal dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) maupun beasiswa biasa yang total nilainya lebih dari Rp1 triliun.

Baca juga: Hari Santri 2019, NU ingin peran santri jaga kerukunan bangsa

Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Taufik Ridwan
Copyright © ANTARA 2022