prinsip keislaman dalam hukum Indonesia bukan secara simbolis
Jakarta (ANTARA) - Simposium Khazanah Pemikiran Santri dan Kajian Pesantren yang merupakan rangkaian kegiatan Hari Santri telah ditutup pada Minggu, dan menghasilkan paper-paper ilmiah tentang berbagai pemikiran baru di bidang keislaman.

Penutupan simposium ini bersamaan dengan berakhirnya seluruh rangkaian acara Hari Santri 2022, termasuk "Malam Puncak Peringatan Hari Santri 2022" yang digelar di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Sabtu.

"Kegiatan ini menghasilkan pemikiran-pemikiran yang diharapkan pesantren dan pemerhati pesantren untuk kemudian bisa mengangkat derajat pesantren lebih tinggi," ujar Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Waryono Abdul Ghofur di Jakarta, Minggu.

Simposium yang dinamai Mu'tamad (Al-multaqa al-tsanawi lil bahai an afkari al-thullab wa dirasat Pisantrin) berlangsung sejak Jumat hingga Minggu.

Simposium diikuti 87 panelis yang berasal dari kalangan santri, mahasantri, dan alumni pesantren serta penggiat kajian pesantren. Jumlah tersebut sesuai dengan naskah karya ilmiah yang terseleksi dari ratusan naskah yang masuk.

Baca juga: Wapres: Fatwa MUI beri gambaran fleksibilitas hukum Islam saat pandemi
Baca juga: MUI sebut transaksi digital perlu diawasi agar tak langgar hukum Islam

Paper yang paling mendapat perhatian berjudul Pesantren dan Tantangan Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia yang dibahas oleh tiga tokoh ulama, K.H. Masdar Farid Mas’udi (Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia), K.H. Asrorun Ni’am (Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia), dan K.H. Rumadi Ahmad (Tenaga Ahli Utama Kantor Sekretariat Presiden).

Asrorun Ni'am mengatakan Indonesia adalah negara Pancasila yang menjunjung tinggi kesetaraan derajat semua golongan. Oleh karena itu, hukum yang berlaku adalah hukum negara, bukan berdasarkan hukum Islam atau golongan lain.

Menurutnya, selama ini pesantren telah berkontribusi dalam konsolidasi hukum nasional, seperti telah membangun, menjaga, dan merawat budaya hukum Islam di Indonesia, dalam praktik living law.

Dalam kaitannya dengan hukum positif, kata dia, pemikiran Islam telah menyumbang khazanah keilmuan melalui literatur dan aktor-aktornya, yaitu para santri yang saat ini menjadi akademisi, politisi, birokrat, dan lain-lain.

"Prinsip keislaman dalam hukum Indonesia bukan secara simbolis, akan tetapi menginternalisasi norma dan perilaku. Misalnya budaya tertib hukum, budaya bersih, budaya sehat, budaya disiplin, dan budaya integritas," kata dia.

Baca juga: Akademisi: Negara berpenduduk Islam reformasi hukum keluarga
Baca juga: LBM NU Tulungagung mengkaji sejumlah RKUHP bermasalah

Sementara itu, Rumadi Ahmad menjelaskan hukum Islam di Indonesia itu efektif dan berlaku dalam masyarakat. Secara substatif, menurut Rumadi, hukum Islam telah berada dalam lima level penerapan. Pertama tentang masalah-masalah hukum kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan, telah diadopsi dalam hukum nasional.

Kedua, urusan-urusan ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat juga telah diresepsi dalam hukum nasional.

Ketiga, praktik-praktik ritual keagamaan, seperti kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita Muslim, ataupun pelarangan resmi hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Islam seperti alkohol dan perjudian, sudah masuk pada Perda-Perda lokal.

Keempat, penerapan hukum pidana Islam, terutama bertalian dengan jenis-jenis sanksi yang dijatuhkan bagi pelanggar seperti di Aceh. Terakhir, penggunaan prinsip Islam yang monotheistik murni sebagai dasar negara dan sistem pemerintahan.

"Hal ini bukan hal baru, karena pengangkatan penghulu dan para qadi (hakim) di kerajaan Islam masa lalu juga telah terjadi," kata dia.

Baca juga: Lima pelanggar Syariat Islam kena hukum cambuk di Aceh

Pewarta: Asep Firmansyah
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022