Jakarta (ANTARA) - Sejarah selalu diubah oleh kaum muda, sebagaimana ungkapan yang paling khas pernah diucapkan Presiden pertama RI Ir Sukarno; “Beri kami 10 pemuda maka akan aku goncangkan dunia”.

Bung Karno sejak muda terlibat dalam pergerakan kemerdekaan baik dalam tulisan maupun aktivitasnya, Karena itu, Bung Karno sangat paham dan mengerti spirit juga tekad anak muda dalam perubahan politik maupun perjuangan untuk mengapai cita-cita.

Perubahan politik selalu memang melibatkan anak muda, demikian juga satu terobosan penting dalam perjalanan bangsa ini yang di mulai dari perlawanan kedaerahan yang puncaknya perang Jawa pada 1825-1830 yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro.

Dampak perang ini bukan saja menguras kas keuangan kongsi dagang Belanda VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie) melainkan juga muncul lebih kuat bibit-bibit nasionalisme.

Maka 21-22 tahun kemudian muncul beragam organisasi yang secara signifikan memperjuangkan secara langsung maupun tidak langsung kemerdekaan Indonesia.

Lahirnya Serikat Islam, Boedi Oetomo, pers perlawanan seperti Medan Priyayi dan lain-lain, menjadi wadah yang lahir di era awal kesadaran nasional.

Perubahan pola gerakan dari perjuangan bersenjata lokal menjadi perjuangan berorganisasi namun masih sektoral ternyata belum mencapai kesadaran bersama untuk serentak melawan kolonialisme.

Sumpah Pemuda pada 1928 ternyata merupakan titik balik yang mampu mengeskalasi perjuangan organisasi lokal menjadi skala nasional sehingga perlawanan terhadap kolonialisme menjadi masif, lebih strategis, disertai kesadaran kolektif.

Sumpah Pemuda dengan menggunakan diksi sumpah menjadi menarik dikarenakan makna sumpah dapat diartikan pernyataan bersama yang melibatkan kekuatan spiritual atau Ketuhanan.

Diksi sumpah merupakan satu komitmen dengan tekad dan kokoh untuk kelak akan dilaksanakan sesuai dengan sumpahnya. Demikian sakral arti sumpah. Karena itu, Maha Patih Gajah Mada pun pernah bersumpah sebagai wadah komitmennya untuk tidak akan makan buah palapa jika belum berhasil mempersatukan nusantara. Kuat sarat makna dan tekadnya.

Sumpah pemuda 1928 merupakan satu terobosan anak muda dari kebuntuan perlawanan yang minor cita-cita secara eksplisit walaupun Indische Partij saat itu menginginkan agenda radikal yang sama namun gaungnya sangat berbeda.

Sumpah Pemuda pada 1928 menyiratkan 3 makna yang terpenting. Pertama, bukan persatuan semu, melainkan ada ikatan kuat sebagai satu tanah air, bangsa yang satu, dan bahasa persatuan. Persatuan ini menjadi ikatan konkret bukan sekadar imajiner persatuan (semu).

Kedua, Sumpah Pemuda 1928 telah mengajarkan kepada rakyat bahwa variabel determinan untuk mencapai cita-cita merdeka adalah dengan persatuan.

Ketiga, kesadaran daerah untuk bersatu hadirnya Batak Bond, Jawa, Celebes, dan lain sebagainya menyiratkan perlunya kekuatan sinergi untuk menyusun agenda bersama secara konkret.

Kehadiran mereka di daerah membawa api semangat betapa kelak Indonesia harus hadir sebagai negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Inilah yang kemudian menjadi modal dasar pijakan perjuangan ke arah yang lebih terarah yakni kemerdekaan Indonesia.

Kaum muda generasi 1928 telah berhasil merumuskan tesis berpikirnya tentang variabel pengikat (determinan) untuk Indonesia merdeka.

Kemudian 23 tahun selanjutnya para founding fathers yang bergabung dalam BPUPKI  (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)   maupun PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)  merumuskan konsep negara dan konstitusi, perang gagasan, ide, sekaligus ideologi mewarnai perdebatan mereka.

Suasana kebatinan politik rasional mendominasi para founding fathers oleh karena itu produk politik yang dilahirkan sangat bernuansa realita serta menjawab kebutuhan.

Relevansi Sumpah Pemuda

Sayangnya, 32 tahun segala konsep, ide, serta tafsir apapun belum sepenuhnya diperkenankan oleh bangsa ini.

Dominasi penguasa untuk menghegemoni terasa dalam politik kooptasi politik orde baru yang telah memiskinkan nalar yang berbeda, generasi yang lahir dan tumbuh di era ini merasakan betul keterpenjaraan berpikir.

Reformasi telah membuka pintu kebebasan, kreativitas, hingga perbedaan berpikir. Negara telah mengubah watak otoriternya menjadi watak tranformatif. Sayangnya, praktik politik di tingkat masyarakat justru menjadikan kebebasan untuk membelah masyarakat serta perbedaan dipelihara untuk tetap menjadikan kluster konstituen.

Perubahan manusia dari sebagai subjek pemilih menjadi objek yang terus dijaga keterbelahannya agar menjadi basis konstituen yang mudah digerakkan.

Banyak yang kemudian melihat pemilu dengan model langsung, perlu dievaluasi. Selain tidak efektif dengan rangkaian waktu yang panjang, biaya politik yang semakin mahal, sehingga salah satu indikator terjadinya korupsi (walaupun faktor dominan diri orang tersebut), sampai kepada warna perwakilan yang tidak menyiratkan keterwakilan masyarakat Indonesia sepenuhnya.

Ide untuk mencari format politik yang ideal terus disuarakan sebagai satu kearifan lokal, sebagaimana Eropa Utara dengan model demokrasi sosialnya yang telah membuat kemapanan sistem termasuk kesejahteraan.

Atau China dengan konsep politik yang dikendalikan melalui komite rakyat, sehingga melalui komite rakyat terjadi suksesi kepemimpinan dengan pertimbangan kapasitas, kapabalitas, serta intelektual juga jabatan di partai. Hal itu telah membawa China mencapai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Melihat beberapa negara dengan kearifan lokalnya mampu membawa kemapanan sistem menjadi modal utama stabilitas ekonomi yang membawa kesejahteraan maka diperlukan untuk melihat raw material konsep para founding father dalam mengkaji kembali gagasan soal sila ke-4 Pancasila.

Perwakilan-permusyawarahan mufakat, dua kalimat ini menyirakan makna perwakilan (bukan semata-mata suara) tapi konsep tentang keterwakilan masyarakat Indonesia, wakil kelompok agama, adat, juga golongan.

Maka permusyawaratan mufakat, konsep, dan gagasan sebagai pertarungan ide diselesaikan bukan semata-mata dalam voting tapi mencapai satu sintesis dari proses dialektika dalam lembaga negara (MPR-DPR).

Perjuangan para generasi 1928 dengan kekuatan persatuan, generasi 1945 dengan konsep dan gagasan bangunan negara,  seharusnya memberikan modal kuat bagi bangsa ini untuk mengakselerasikan Indonesia untuk membangun sistem yang berbasis lokal untuk kebutuhan serta kepentingan kita dalam mencapai kesejahteraan bersama.

Politik etik serta moral harus dikedepankan dan itu bisa terjadi ketika semua pihak menyadari bahwa saat ini tidak bisa lepas dari paralelitas sejarah bangsa ini yang di mulai dari gagasan mulia untuk bersatu.

Dari sini semangat Sumpah Pemuda semakin menjadi relevan di tengah upaya untuk membangkitkan ekonomi setelah pandemi COVID-19.


*) Dr. Taufan Hunneman; Sekjen Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika, Dosen Tetap UCIC Cirebon.




 

Copyright © ANTARA 2022