Surabaya (ANTARA News) - Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR RI tentang Penjualan Dua Kapal Tanker Raksasa (very large crude carrier/VLCC) milik PT Pertamina (Persero), akan menyelidiki "mafia" di balik penjualan kapal berkapasitas 260 ribu LT itu kepada perusahaan asal Swedia, Frontline Ltd. "Banyak hal yang tidak wajar dalam penjualan itu, karenanya kami mengumpulkan masukan dari berbagai pihak, termasuk di Surabaya," kata Ketua Pansus, Simon Patrice Morin, di sela-sela dialog dengan dosen Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS Surabaya di kampus setempat, Rabu. Sejak dibentuk pada Juni 2005, katanya, Pansus Hak Angket Kapal Tanker Pertamina telah melakukan serangkaian dialog untuk menyelidiki "mafia" di balik penjualan kapal tanker yang dikerjakan di Korea Selatan itu, termasuk dengan sejumlah kalangan di Surabaya yakni PT PAL, PT DOK, dan ITS Surabaya. "Pengumpulan informasi itu sendiri sudah mendekati selesai, karena itu kami akan segera memberikan rekomendasi kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) untuk ditindaklanjuti," katanya. Menurut dia, temuan sementara membuktikan adanya ketidakwajaran dalam penjualan itu, karena Pertamina mengaku bahwa alasan penjualan kapal tersebut karena Pertamina mengalami krisis keuangan, padahal setahun sebelumnya telah ada audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan keuangan Pertamina sehat. "Lalu, tiba-tiba setahun kemudian justru Pertamina ngomong kalau keuangannya kritis. Itu perlu diselidiki, apa benar, apa kepentingannya, siapa di balik semua itu, sebab Indonesia dalam jangka panjang sangat membutuhkan kapal tanker tersebut," katanya. Ia menegaskan, bahwa Pertamina sangat membutuhkan VLCC yang berkapasitas untuk mengangkut minyak mentah dari Timur Tengah yang dipasok ke kilang pengolahan minyak di Cilacap (Jawa) dan Balongan (Kalimantan), sebab harga sewa kapal tanker yang selama ini dilakukan Pertamina semakin tinggi, seiring dengan melambungnya harga minyak di pasaran dunia. "Kami melihat Pertamina sampai sekarang sangat tergantung kepada perusahaan tanker asing, padahal kalau kita mempunyai armada yang cukup, tentu akan lebih efisien. Tapi anehnya kapal tanker yang kita miliki justru dijual," katanya. Ketidakwajaran lainnya, kata Simon, Pertamina mengatakan bahwa hasil penjualan VLCC itu dipakai untuk membangun enam unit kapal tanker yang lebih kecil dari galangan perusahaan Cina, Korea, dan Indonesia. "Itu alasan mereka, tapi kapal tanker buatan galangan kapal Indonesia itu sudah jadi, sedangkan kapal yang dibuat dari galangan Cina dan Korea kok tidak ada hasilnya sampai sekarang," ucapnya. Oleh karena itu, Pansus akan mendorong KPK dan KPPU untuk mengungkap ketidakwajaran tersebut. "Siapa sebenarnya yang berada di balik penjualan kapal itu, tapi Pansus tidak menyebut sejumlah nama yang harus dipanggil KPK dan KPPU," katanya. Namun KPK tampaknya sudah pro-aktif dengan memanggil Direktur Keuangan Pertamina, Alfred H Rohimone dan sejumlah direksi, sehingga beberapa pejabat di Pertamina akhirnya diganti, padahal Pansus DPR RI belum menuntaskan rekomendasi. Dalam kesempatan itu, Dekan FTK ITS, Ir Asjhari Imron MSc MSE PED yang terlibat dalam review desain dua kapal tanker yang mampu mengangkut 900 ribu barel minyak itu, mengaku kecewa dengan Pertamina. "Kami sudah memberikan masukan kepada Pertamina dan review desain masih belum selesai, tapi Pertamina tiba-tiba menjual kapal yang sedang dibangun di galangan kapal Hyundai Heavy Industries, Korea Selatan, itu. Jadi, apa artinya review desain yang kami lakukan," katanya. ANTARA mencatat PT Pertamina (Persero) telah menjual dua tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) seharga 184 juta dollar AS kepada Perusahaan asal Swedia, Frontline Ltd, sebagai pemenang tender, pada Juni 2004. Penjualan itu dilakukan ketika dua kapal itu sedang dibangun di galangan kapal Hyundai Heavy Industries, Korea Selatan. Informasi dari sumber lain menyebutkan, penjualan kapal tanker itu sebenarnya sudah tergolong untung dibandingkan dengan harga pembuatan, namun negara dirugikan karena harga yang tergolong untung itu sebenarnya jauh di bawah harga penjualan tanker di pasaran dunia yang cukup tinggi, sehingga diduga ada "mafia" yang menginginkan Indonesia tergantung kepada asing untuk selamanya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2006