mereka juga diharapkan dapat memahami berbagai bentuk kekerasan, menjelaskan dan menganalisis kekerasan seksual
Jakarta (ANTARA) - Konsultan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA) Mawar Nita Pohan mengatakan setidaknya ada tiga materi terkait kesehatan reproduksi yang harus didapatkan oleh anak dengan keterbatasan perkembangan mental, tingkah laku, dan kecerdasan atau tunagrahita.

"Ada tiga topik, yang pertama adalah kebersihan diri, topik kedua tentang pubertas, dan topik ketiga tentang melindungi diri," kata Mawar dalam webinar "Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Anak Tunagrahita" yang diikuti daring dari Jakarta, Selasa.

Mengenai kebersihan diri, Mawar menjelaskan materi tersebut meliputi jenis-jenis aktivitas kebersihan diri dan cara melakukannya termasuk sikat gigi, mandi, membersihkan organ reproduksi, hingga manajemen menstruasi seperti cara memakai atau mengganti pembalut.

"Mereka harus tahu harus mengganti pembalut setiap empat jam sekali, bagaimana caranya kalau melakukan itu di sekolah. Tentu saja ini perlu didukung oleh suasana kelas dan sekolah yang baik," ujarnya.

Selanjutnya mengenai pubertas, ia mengatakan anak-anak tunagrahita harus mampu memahami dan menjelaskan pengertian pubertas dan berbagai perubahan yang menyertainya.

Baca juga: Pentingnya peran guru dalam pendidikan kespro bagi anak tunagrahita
Baca juga: UNFPA: Anak tunagrahita harus dibekali pendidikan kesehatan reproduksi


Kemudian, lanjutnya, mereka juga harus mampu menjelaskan anatomi dan organ reproduksi, menjelaskan menstruasi dan mimpi basah, dan menganalisis cara mengelola dorongan seksual yang sehat pada usia remaja.

"Termasuk juga mengenai citra diri. Citra diri itu bagaimana mereka menerima diri dan tubuhnya. Mungkin bisa dilakukan dengan boneka atau tubuh mereka sendiri, misalnya ini rambutku, saya suka rambutku. Hal seperti ini bisa kita modifikasi dengan lagu, gerak, atau jargon-jargon yang menarik," katanya.

Sedangkan mengenai materi melindungi diri, Mawar mengatakan anak-anak tunagrahita diharapkan mengenali privasi dan hak atas tubuh serta membedakan sentuhan baik dan tidak baik.

"Mereka juga diharapkan dapat memahami berbagai bentuk kekerasan, menjelaskan dan menganalisis kekerasan seksual serta dampak dan cara mengatasinya, dan memahami internet yang sehat dan aman," katanya.

Mawar menjelaskan dalam penyampaian materi-materi tersebut, ada beberapa prinsip yang bisa diterapkan, yaitu terintegrasi dengan mata pelajaran yang berkaitan, melibatkan orang tua dan warga sekolah, cara belajar yang interaktif, kontekstual sesuai dengan kemampuan belajar, usia, dan kebutuhan anak, serta menggunakan media pembelajaran kreatif seperti video, gambar, lembar tugas, hingga bermain peran.

Baca juga: Remaja tunagrahita di Depok disosialisasi kesehatan reproduksi FKM UI
Baca juga: Mensos: Atlet Tunagrahita Indonesia Mampu Berprestasi Dunia

Sementara siklus pembelajarannya, kata dia, dimulai dari asesmen, perencanaan pembelajaran, penyusunan media pembelajaran, pelaksanaan, lalu penilaian.

"Jadi kita harus tahu dulu anak kita ini pengetahuannya sudah sampai mana. Hasil asesmen dilanjutkan dengan perencanaan apa yang ingin kita ajarkan kepada anak, apa tujuannya, apa yang ingin kita tingkatkan. Dari sana baru keluar metode yang ingin kita lakukan," jelas Mawar.

"Dari metode kita perlu kreatif apa medianya. Lalu dilaksanakan, setelah itu perlu evaluasi efektif atau tidak, ada peningkatan pengetahuan atau tidak, yang nanti jadi dasar kita untuk melakukan siklus berikutnya, yaitu dilakukan lagi asesmen untuk naik ke tahap berikutnya," tutup dia.

Baca juga: Tunagrahita di Indonesia Capai 6,6 Juta Orang

Pewarta: Suci Nurhaliza
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022