Badung, Bali (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia harus dibangun secara meluas hingga wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (TIK).

Hal itu disampaikannya seiring pernyataan Presiden Joko Widodo di dalam sesi III KTT G20 yang mengatakan bahwa negara dan kawasan anggota G20 perlu memperbaiki ketimpangan akses dan infrastruktur digital.

"Saat ini disampaikan masih ada 2 miliar penduduk dunia ini yang belum mendapatkan akses internet termasuk tentunya di Indonesia," ujar Johnny di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Badung, Bali, Rabu.

"Di Indonesia infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi kita memang harus dibangun secara meluas sampai di wilayah-wilayah terdepan, terluar dan tertinggal," sambung dia.

Baca juga: Kemenkominfo dorong ASN adopsi teknologi digital tingkatkan layanan

Baca juga: Literasi digital penting sebagai panduan hadapi kecanggihan teknologi


Pembangunan dan pengembangan infrastruktur digital merupakan bagian dari transformasi digital yang menjadi satu dari tiga pembahasan prioritas selama KTT G20.

Johnny bersyukur bahwa tiga isu yang telah dibahas dalam Digital Economy Working Group (DEWG) maupun Digital Economy Minister Meeting (DEMM) G20 mendapat perhatian dan kesepahaman di antara pemimpin G20.

Tiga isu yang dimaksud yakni konektivitas digital dan pemulihan pascapandemi COVID-19, literasi digital dan kecakapan digital, serta arus data dengan kepercayaan dan arus data lintas negara (data free flow with trust and cross-border data flow).

"Tiga-tiganya menjadi perhatian dan kesepahaman di antara para pemimpin G20 bahwa pemulihan pascapandemi COVID-19 itu ditindaklanjuti dengan pengembangan dan pembangunan infrastruktur digital atau konektivitas yang lebih luas ke seluruh penjuru dunia," ucap dia.

Selain infrastruktur digital, hal kedua yang menjadi fokus perhatian adalah literasi digital. Johnny mengatakan bahwa dalam kaitan iklusivitas dan pemberdayaan, perlu dilakukan perhatian literasi digital yang lebih luas di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Isu ketiga terkait dengan pemanfaatan arus data dengan kepercayaan dan arus data lintas negara untuk kemajuan perekonomian dan perdagangan.

Namun di sisi lain, kata dia, juga tetap harus memperhatikan serangan-serangan siber yang saat ini marak terjadi.

"Sehingga cross border data flow itu harus ditangani dengan baik dan harus mampu mengatasi serangan-serangan siber," ucapnya.

Johnny turut menekankan pentingnya menggunakan ruang digital yang bermanfaat sehingga tidak menjadi tempat untuk menyebarkan berita bohong atau hoaks yang merugikan masyarakat.

Dalam kesempatan itu, Johnny juga menyinggung mengenai akses internet di Tanah Air. Dia mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang kecepatan internetnya masih perlu ditingkatkan.

Bukan hanya infrastruktur TIK yang belum secara luas tersambung, tetapi juga spektrum frekuensi yang belum digunakan dengan semestinya.

Johnny menilai, menata kelola spektrum frekuensi merupakan hal penting agar operator-operator seluler mempunyai bandwidth yang cukup dan spektrum yang memadai.

"Selama ini kita pakai untuk satelit dan itu besar sekali yang harusnya bisa dipakai untuk telekomunikasi dan internet. Selama ini juga kita pakai untuk televisi analog telesterial yang menggunakan spektrum yang sangat boros," ujar dia.

Untuk itu, Johnny menegaskan bahwa analog switch off merupakan salah satu program dalam rangka farming dan re-farming spektrum frekuensi.

"Agar bisa digunakan oleh operator seluler sehingga tersedia bandwidth cukup yang memungkinkan untuk kecepatan internet lebih baik,' kata Johnny.

Baca juga: Kemenkominfo dorong ASN tingkatkan pelayanan melalui literasi digital

Baca juga: APJII dukung kolaborasi pemerintah bangun literasi digital

Baca juga: Akademisi tekankan pentingnya digitalisasi budaya di Indonesia

Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022