Jakarta (ANTARA) - Asia dan Timur Tengah memiliki pemulihan ekonomi yang lebih kuat dibandingkan dengan wilayah lain di dunia, yang memberikan kesempatan bagi negara-negara tersebut menanamkan transformasi hijau dalam agenda pembangunan ekonomi mereka.

“Transisi dari pandemi membuka kesempatan bagi negara-negara untuk membangun kembali perekonomian mereka dengan cara yang lebih ramah lingkungan. Kota-kota yang memiliki pertumbuhan pesat di Asia dan Timur Tengah semakin rentan terhadap risiko fisik seperti kekeringan, banjir, dan badai tropis," ungkap Chief Executive The Institute of Chartered Accountants in England and Wales (ICAEW) Michael Izza.

Oleh karenanya, investasi dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sangat diperlukan untuk membangun ketahanan. Pemulihan hijau bisa memperkuat daya saing jangka panjang untuk Asia dan Timur Tengah di pasar global yang membutuhkan praktik hijau.

Meski begitu, pelaksanaan pendanaan iklim dihadapkan dengan tantangan terkait kondisi anggaran pemerintah yang berada dalam tekanan, sehingga investasi dari sektor swasta yang akan sangat diperlukan.

Produk Domestik Bruto (PDB) hampir seluruh negara dunia menyusut di kuartal dua, sebagian disebabkan oleh lockdown di Tiongkok. Sementara inflasi meningkat di seluruh dunia termasuk Asia dan Timur Tengah, meskipun tekanan di negara Gulf Cooperation Council (GCC) atau Dewan Kerja sama untuk Negara Arab di Teluk lebih rendah.

Berlawanan dengan latar belakang ini, kebijakan moneter diperkirakan akan lebih ketat karena dunia masih akan terus bergulat menghadapi berbagai tantangan eksternal ini.

Salah satu kebijakan moneter yang sangat berpengaruh kepada negara-negara dunia yakni kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed. Saat ini kebijakan otoritas tersebut semakin diperketat, salah satunya dari segi suku bunga acuan yang sudah mencapai level 3,75 persen sampai 4 persen.

Data FedWatch milik Chicago Mercantile Exchange (CME) Group mencatat pasar bahkan melihat kemungkinan suku bunga acuan Fed naik hingga 5 persen sampai 5,25 persen pada Maret 2023.

Peningkatan suku bunga Fed tentunya akan mengerek bunga kebijakan bank sentral negara lainnya, termasuk di Asia. Terlebih, aturan darurat kebijakan COVID-19 pun mulai melonggar pada akhir tahun 2022, sehingga suku bunga di kawasan tersebut pun diproyeksikan meningkat kembali ke tingkat yang sama seperti sebelum pandemi.

Asia memang memiliki performa yang kuat pascapandemi, namun pertumbuhan Tiongkok akan menjadi faktor penentu karena pertumbuhan Negeri Panda diprediksi akan tetap lambat, tepatnya di bawah 5 persen pada tahun 2023 dari pertumbuhan tahun 2022 yang sekitar 3 persen.

Eksposur tinggi terhadap pertumbuhan Tiongkok yang lemah disertai gangguan pasokan masih menjadi potensi risiko bagi pertumbuhan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Tetapi jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, tingkat risiko yang dimiliki Indonesia akibat lambatnya pertumbuhan Tiongkok masih lebih baik. Hal ini karena dibandingkan Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina, nilai ekspor Indonesia ke Negeri Panda masih yang terendah.

Selain itu, tingkat kerentanan rantai pasok Indonesia untuk barang setengah jadi pun termasuk di kategori rendah, berbeda jauh dengan Singapura dan Malaysia.


Peluang transformasi hijau

Kuatnya perekonomian Indonesia menjadi peluang untuk meningkatkan transformasi hijau dalam pertumbuhan ekonomi saat ini. Apalagi di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, aksi nyata dan partisipasi swasta dalam agenda perubahan iklim masih tergolong rendah.

Penerapan kebijakan dan aksi nyata menanggapi perubahan iklim di Tiongkok, Asia Tenggara (Indonesia, Singapura, Thailand, dan Vietnam), serta Timur Tengah (Arab Saudi dan Uni Emirat Arab) dianggap masih belum memadai atau kurang ambisius.

Hal tersebut menggambarkan tak semua negara siap untuk transisi ini, sehingga target yang lebih ambisius didorong untuk segera ditetapkan. Kondisi itu tentunya berbanding jauh dari kawasan Eurasia dan Timur Tengah yang lebih intensif untuk urusan energi.

Upaya mengalihkan ketergantungan dari bahan bakar berpolusi seperti batu bara ke energi terbarukan akan menjadi tantangan besar untuk mencapai emisi nol bersih. Dengan demikian, pemberian harga ulang atau repricing energi untuk menggambarkan biaya kerusakan lingkungan disarankan sebagai bentuk insentif yang didorong pasar untuk mempengaruhi lebih banyak bisnis menggunakan energi terbarukan sebagai pengganti bahan bakar yang berpolusi.

Climate Action Tracker mencatat Indonesia merupakan salah satu dari 14 negara yang dikategorikan sebagai negara yang sangat tidak memadai untuk urusan kebijakan iklim dan penerapannya. Meski begitu, posisi Indonesia ini masih lebih baik ketimbang beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam yang berada di kategori kritis.

Di Indonesia sendiri, pada tahun 2015 sumber energi listrik masih didominasi oleh batu bara, gas alam, dan minyak. Diprediksi, baru di tahun 2050 nanti Indonesia bisa meninggalkan ketergantungan terhadap batu bara dan minyak.

Sumber energi listrik di tahun 2050 nantinya akan didominasi energi terbarukan dan hanya menyisakan sedikit dari gas alam. Melihat fakta ini, pendanaan iklim dinilai belum mampu memenuhi apa yang diperlukan untuk mencapai tujuannya.

Maka dari itu, investasi di infrastruktur untuk energi terbarukan, teknologi elektrifikasi, dan efisiensi energi menjadi semakin diperlukan. Adapun nilai bruto dari investasi infrastruktur ini, seperti yang diprediksi oleh Climate Policy Initiatives, akan menelan biaya sekitar 4,5 triliun dolar AS hingga 5 triliun dolar AS per tahun.

Dengan kebutuhan tersebut, pembiayaan yang cukup besar untuk mencapai tujuan membutuhkan dukungan tambahan dari sektor swasta, apalagi anggaran pemerintah sudah cukup membengkak ketika masa pandemi. Namun, pemerintah dapat membantu mengurangi risiko investasi iklim melalui inisiatif pendanaan campuran atau blended finance.

ICAEW Head of Indonesia Conny Siahaan menilai Indonesia berpotensi tinggi untuk meningkatkan pendaan iklim dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara.Optimisme tersebut seiring dengan Pemerintah Indonesia yang terus gencar mendorong seluruh pihak, terutama pemain industri dalam menurunkan kadar emisi karbon.

Terbaru, pemerintah mengeluarkan regulasi terkait penggunaan mobil listrik di lingkungan pemerintah dan perencanaan penerapan pajak karbon, yang merupakan langkah awal signifikan menuju ekonomi hijau dan menjadi potensi peningkatan pendanaan iklim.


Pendanaan iklim

Pendanaan perubahan iklim dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu dana publik, swasta, dan campuran. Dana publik dapat bersumber dari anggaran pemerintah maupun hibah dan pinjaman negara asing, sedangkan dana dari sumber internasional dapat disalurkan melalui anggaran pemerintah, pihak swasta, maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bertindak sebagai perantara.

Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2014, pendanaan perubahan iklim di Indonesia didominasi oleh pendanaan domestik yang berasal dari anggaran pemerintah yaitu sebesar 66 persen dan 34 persen bersumber dari pendanaan publik internasional.

Terdapat beberapa instrumen pendanaan publik yang telah ada di Indonesia, di antaranya pengelolaan dana melalui trust fund yang dikelola oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) di bawah Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) serta Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di bawah Kemenkeu.

Pemerintah Indonesia juga sudah mengeluarkan sukuk hijau (green sukuk) yang mendapatkan penilaian Medium Green dari Centre for International Climate and Environmental Research (CICERO). Sumber-sumber pendanaan multilateral juga telah diupayakan melalui Adaptation Fund (AF), Global Environment Facility (GEF), dan Green Climate Fund (GCF).

Dalam meningkatkan partisipasi swasta, Pemerintah Indonesia tengah meningkatkan partisipasi pendanaan non-publik untuk perubahan iklim sebagaimana dengan dikeluarkannya Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan di Indonesia pada tahun 2014.

Peta jalan itu ditindaklanjuti oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. Pendanaan non-publik telah diimplementasikan melalui penerbitan obligasi hijau antara lain oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dan Bank OCBC NISP

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022