Jakarta (ANTARA) - Pagi baru saja menjelang ketika penulis membaca berita yang mengejutkan sekaligus membahagiakan, baik di grup Whatsapp maupun tersebar di lini masa media sosial; United Libertaion Movement of West Papua (ULMWP ) dan Pemerintah Indonesia, melalui Komnas HAM, sepakat melakukan jeda kemanusiaan di Papua selama enam bulan ke depan.

Kesepakatan itu ditandatangani di Kantor Hendry Dunant Centre (HDC) atau juga biasa disebut Centre for Humanitarian Dialogue, Jenewa, pada 15 November 2022.

Bagi penulis, jeda kemanusiaan (waqfah al-basyariah), walau tidak permanen, karena hanya disepakati selama enam bulan, mempunyai makna dan arti yang sangat penting.

Bukan saja hal ini merupakan sebuah fase kemajuan menuju perundingan yang lebih holistik untuk mencapai perdamaian abadi, namun jeda kemanusiaan diharapkan mampu mendeeskalasi konflik di Papua.

Selain juga menjadi peluang untuk membangun rasa saling percaya antarkedua belah pihak dan yang paling penting selama enam bulan ke depan, andai kedua belah pihak komitmen dan bisa merealisasikan kesepakatan ini, maka tidak akan ada lagi peperangan atau konflik di Papua.

Inisiatif dan komitmen serius antara kedua belah pihak untuk menghentikan konflik sementara dan menjajaki potensi perdamaian abadi dalam istilah modern disebut pause for humanity atau "jeda kemanusiaan".

Kata "jeda" berarti istirahat, berhenti dan penundaan sementara, sehingga tidak ada lagi aktivitas apapun.

"Kemanusiaan" berarti visi dan misi kemanusiaan di Papua selama masa jeda tersebut. Jadi, jeda kemanusiaan berarti tiadanya konflik bersenjata, demi mewujudkan misi-misi kemanusiaan berdasarkan hukum kemanusiaan internasional.

Karenanya, dalam jeda kemanusiaan kedua belah pihak bukan hanya dilarang saling menyerang, namun juga tidak diperbolehkan memindahkan senjata atau memanfaatkan durasi waktu selama jeda kemanusiaan ini untuk menguasai suatu wilayah tertentu yang akan merusak komitmen jeda kemanusiaan itu sendiri.

Jeda kemanusiaan merupakan hasil maksimal dari inisiatif dialog yang dimediasi oleh Henry Dunant Centre bersama ULMWP juga pemerintah Indonesia, yang dalam hal ini diwakili oleh Komnas HAM.

Henry Dunant Centre sebagai mediator yang berpengalaman memediasi konflik di berbagai negara menjadi mediator dalam tiga fase dialog kemanusiaan di kantor Henry Dunant Centre, Jenewa, Swiss.


Menabur angin

Setelah penandatanganan jeda kemanusiaan (15/11) ini, beberapa pihak menolak hasil panjang perundingan ini, salah satunya yang paling keras menolak hasil perundingan ini adalah dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) melalui ketuanya Seby Sambom.

Bahkan, Seby Sambom membahasakan mereka yang berunding di Jenewa dan menyepakati jeda kemanusiaan, seperti menabur angin karena mereka tidak melibatkan aktor yang selama ini berperang di lapangan, yakni TPNPB dan TNI/Polri.

Seby Sambom menegaskan, perang antara TPNPB dan TNI/Polri akan terus berjalan karena peperangan TPNPB adalah peperangan pembebasan Papua Barat.

Kekecewaan Seby Sambom tentu beralasan. Sebagai salah satu bagian dari kelompok perjuangan Papua merdeka, pihaknya merasa tidak dilibatkan sama sekali dalam dialog. Sehingga kekecewaan TPNPB harus disikapi dengan komunikasi dan pendekatan yang baik.

Andai kekecewaan TPNPB ini tidak disikapi dengan baik sudah bisa dipastikan Seby Sambom tidak berusaha mengikat diri dengan apa yang sudah disepakati oleh ULMWP dengan pemerintah Indonesia melalui Komnas HAM, sehingga jeda kemanusiaan yang disepakati di Jenewa akan sulit untuk direalisasikan.

Artinya, rencana jeda kemanusiaan yang baru saja disepakati dalam bahasa Seby Sambom adalah sia-sia belaka.

Walaupun sebagaimana yang disampaikan Direktur ULMWP Markus Haluk bahwa tujuan utama Jeda Kemanusiaan adalah menargetkan pemberian bantuan kemanusiaan kepada warga sipil yang terjebak dalam wilayah konflik bersenjata dan warga sipil yang mengungsi akibat konflik bersenjata di kawasan dan waktu tertentu melalui “Koridor Kemanusiaan”.

Selain itu, menurut Markus Haluk, jeda kemanusiaan bersama ini mencakup kepastian atas pemenuhan hak-hak dasar para tahanan dan narapidana, yaitu tahanan politik di Papua.

Artinya, peran ULMWP menjadi sangat penting dalam perjanjian jeda kemanusiaan ini. Sebagai wadah politik, ULMWP diharapkan bisa melakukan komunikasi dengan TPNPB untuk sama-sama menghormati dan meneguhkan komitmen pada misi-misi kemanusiaan yang bisa dilakukan selama fase jeda kemanusiaan berjalan.

Apabila ULMWP bisa melakukan komunikasi politik dengan TPNPB, maka penulis melihat sebuah kemajuan yang sangat berarti akan terjadi di Papua setelah komitmen bersama ini.

Sehingga jeda kemanusiaan benar-benar menjadi peluang untuk sama-sama memberikan ruang untuk dialog menuju perdamaian abadi, memberikan jalan untuk merealisasikan program-program koridor kemanusiaan, membangun kepercayaan antara Jakarta dan Papua di samping tentu tidak saja untuk melakukan deeskalasi konflik, sehingga tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang tenang dan damai, tanpa konflik serta kekerasan.

Tentu perlu upaya-upaya ekstra untuk mewujudkan bagaimana jeda kemanusiaan bisa berjalan dengan baik dan maksimal. Sedikitnya ada dua kendala dalam mewujudkan jeda kemanusiaan. Pertama, bagaimana selama proses penyaluran bantuan kemanusiaan, kedua belah pihak bisa bekerja sama dengan maksimal.

Kedua, bagaimana memastikan kelompok yang selama ini menolak jeda kemanusiaan, yakni TPNPB, bisa memberikan dukungan terhadap kesepakatan yang sudah dibangun oleh ULMWP.

Apabila terjadi konflik baru, maka pihak yang rugi adalah keduanya, di samping tentu saja masyarakat sipil. Perdamaian hanya seumpama mimpi di Bumi Cendrawasih, Papua, eskalasi konflik akan terus memanas, saling tidak percaya antara Jakarta dan Papua makin kuat, di samping tentu saja koridor kemanusiaan sulit untuk bisa dijalankan dengan baik.

Dalam kondisi seperti ini sulit memastikan keamanan masyarakat sipil yang terjebak dalam konflik. Sulit bagaimana memastikan bantuan kemanusiaan untuk korban konflik bisa terdistribusikan dengan tepat dan maksimal.

Alhasil, apabila jeda kemanusiaan ini gagal membawa perdamaian, maka itu sama saja mencoreng nama baik nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Mencoreng nilai-nilai keimanan semua. Karena perjuangan menjaga kemanusiaan adalah perjuangan keimanan dan keimanan tanpa perbuatan yang riil, menurut Uskup Desmond Tutu, sama artinya dengan kematian.


*) Mujahidin Nur adalah Direktur Eksekutif Peace Literacy Institute Indonesia, Jakarta.


 

Copyright © ANTARA 2022