Jakarta (ANTARA) -
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari mengatakan pasal 256 dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) teranyar bukan merupakan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum.
 
“Pasal 256 bukan ditujukan semata unjuk rasa saja, tetapi justru pasal ini deliknya adalah delik terganggunya ketertiban umum, keonaran atau huru hara,” kata Taufik kepada wartawan saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Ia menyebut pasal tersebut ditujukan agar tiap unjuk rasa yang diselenggarakan berkoordinasi bersama pihak aparat sehingga tidak mengganggu ketertiban umum, jalannya lalu lintas, maupun kepentingan pihak lain.

“Sekarang yang paling penting, pasal ini mesti dibaca dengan keseluruhan RKUHP ini yakni semangat dalam RKUHP bukan semangat punitive, karena rencana KUHP baru ini semangatnya dilandaskan pada upaya restorative,” katanya.

Untuk itu, Taufik mengatakan pihak pemerintah maupun DPR perlu mensosialisasikan pasal tersebut maupun pasal dalam RKUHP lainnya kepada aparat penegak hukum agar tidak salah kaprah dalam menerapkannya dan lebih selektif dalam mengimplementasikannya.

“Jadi sebenarnya yang dipermasalahkan teman-teman bukan substansi pasal, melainkan bagaimana penerapannya,” ucapnya.

Dia menggarisbawahi bahwa materi yang disiapkan dalam penyusunan draf RKUHP pun sudah diperhitungkan sedemikan rupa, sehingga problemnya terletak pada aspek implementasi nanti setelah RKUHP disahkan menjadi undang-undang.

“Problemnya di implementasi, bukan di substansi materi, tapi implementasinya bisa menimbulkan kekhawatiran berdasarkan pengalaman kita selama ini, yang kita perbaiki gimana implementasi ini dengan pemahaman yang benar,” katanya pula.

Ia menyebut bahwa baik eksekutif maupun legislatif bertanggungjawab melakukan sosialisasi ke aparat penegak hukum tersebut, di mana disebutnya masih ada cukup waktu selama tiga tahun sebelum RKUHP yang telah disahkan menjadi undang-undang resmi diterapkan.

“Karena setelah disahkan, ada masa tunggu, masa jeda selama tiga tahun, dan ini menurut saya cukup untuk sosialisasi kepada aparat,” tuturnya.

Terhadap masih adanya penolakan rencana pengesahan RKHUP, Taufik pun mengatakan bahwa draf RKUHP teranyar sudah mengalami perkembangan dan tidak lagi seperti yang dikhawatirkan oleh berbagai kalangan terhadap pasal-pasal krusial di dalamnya.

"Alangkah baiknya dialog, lead-nya dialog karena ini juga bagian dari kita untuk bisa menerangkan apa saja perubahan-perubahan yang dilakukan terhadap draf RKUHP yang dalam beberapa hal poin-poin yang disampaikan pihak-pihak yang masih mengkritik atau menolak," kata Taufik.

Dalam draf RKUHP versi 30 November, Pasal 256 berbunyi, “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.
 

Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2022