Jakarta (ANTARA) - Bagi yang sering berjalan-jalan di sudut perkampungan padat di Ibu Kota Jakarta, secara kasat mata sudah terlihat persoalan kesehatan dan kenyamanan sepertinya tidak mudah lagi didapat warga yang mendiami lokasi itu.

Bisa dibayangkan, dalam 1x24 jam suasana hiruk pikuk warga menghiasi lokasi padat penduduk. Suara musik,  suara kendaraan,  suara warga ngobrol, bahkan  bisa jadi suara orang bertengkar,  semua bisa terdengar meski jendela dan pintu sudah tertutup rapat.

Sebagai contoh,  Kelurahan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Dengan wilayah seluas 0,63 kilometer persegi memiliki jumlah penduduk 23.153 jiwa, atau dengan tingkat kepadatan 91.079 jiwa per kilometer persegi. Padahal, lokasinya hanya enam kilometer dari Istana Negara.

Masalah sosial pun kerap terjadi di wilayah itu, salah satunya kerap terjadinya gesekan horisontal antarkampung. Bahkan, menjadi persoalan menahun yang sulit untuk dipecahkan.

Kepadatan di Ibu Kota Jakarta berikut problematika yang menyertai ini, kemudian membuat hunian pada akhirnya menyebar ke wilayah-wilayah luar Jakarta dengan mencakup Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Bodetabek).

Namun, penyebaran penduduk ini seharusnya sudah bisa dikendalikan sejak awal agar tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. Kondisi ini mulai nampak dengan munculnya kantong-kantong kumuh di wilayah Bodetabek.

Penyebaran penduduk yang tidak terkendali juga mengakibatkan munculnya persoalan-persoalan lingkungan, seperti menyempitnya aliran sungai, situ, bahkan hilangnya ruang terbuka hijau.

Pengendalian tata ruang akibat penyebaran penduduk yang tidak terkendali tidak lagi dalam koridor Bodetabek saja, namun sudah mengarah kepada Punjur (Puncak - Cianjur). Tak hanya itu, untuk arah barat sudah mengarah ke Kabupaten Tangerang, bahkan Kabupaten Serang, sedangkan ke timur sudah ke Kabupaten Purwakarta.

Melalui kebijakan penataan koridor ruang lebih luas itu diharapkan penyebaran penduduk lebih teratur sehingga persoalan-persoalan lingkungan bahkan pergerakan penduduk juga dapat dikendalikan.

Pemerintah sendiri sudah mengantisipasi penyebaran penduduk itu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (Permen) Nomor 22 Tahun 2020 tentang Tim Koordinasi Penataan Ruang  Kawasan Jabodetabek-Punjur yang melibatkan 189 kecamatan.

Dalam pengendalian ruang itu, pemerintah daerah Bodetabek bertugas sebagai regulator dengan menyiapkan sejumlah perda yang kemudian digunakan sebagai pedoman pengembangan hunian yang lebih tertata.

Seiring berkembangnya hunian di suatu daerah, kini juga berkembang hunian skala kota. Hunian skala kota ini terkadang tidak mengenal batas administrasi daerah sehingga kehadiran rencana detail tata ruang Bodetabek menjadi hal yang mutlak.

Hadirnya kota-kota baru di Bodetabek juga memudahkan daerah untuk mengendalikan tata ruang. Hal ini karena pengembang kota-kota baru tak hanya sekedar membangun, namun juga berkewajiban menyediakan infrastruktur dan menyediakan fasilitas komersial.

Kota-kota baru yang banyak berkembang di Bodetabek ini seharusnya bisa memecahkan beban Jakarta yang sudah demikian padat. Hal ini karena semua kebutuhan penghuni termasuk lapangan pekerjaan seharusnya sudah ada di kota-kota baru tersebut.
Salah satu hunian yang dikembangkan di kota mandiri, Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA/ Ganet


Kolaborasi

Hadirnya kota-kota satelit pada akhirnya menjadi solusi untuk mengurangi kepadatan di Ibu Kota Jakarta. Fenomena semacam ini tidak hanya dialami Jakarta saja tetapi juga dialami kota-kota besar lain di dunia.

Namun, untuk mewujudkan kota-kota satelit yang ideal juga bukan perkara mudah, butuh kolaborasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan swasta (pengembang) untuk menyinkronkan kebijakan dengan meminimalkan konflik-konflik yang bisa saja terjadi.

Direktur Jenderal Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Khalawi Abdul Hamid,  mengakui hadirnya kota satelit seperti halnya di Kabupaten Tangerang, sudah mendesak untuk menjawab kebutuhan rumah yang layak bagi masyarakat.

Khalawi menjelaskan, dalam mewujudkan program sejuta rumah, pemerintah tidak dapat sendirian, peran swasta juga sangat besar untuk mewujudkan hunian skala kota lengkap dengan fasilitas pendukung.

Dalam mewujudkan hunian skala kota tidak sekedar membangun rumah, namun juga ekosistem pendukung seperti fasilitas pendidikan, pasar, fasilitas kesehatan, perkantoran, dan sebagainya, sehingga penghuni beraktivitas hanya dalam kawasan itu saja.

Dengan tersedianya lahan yang luas, dimungkinkan untuk mengembangkan berbagai segmen rumah, mengingat lokasi itu juga dekat dengan kawasan industri serta dekat juga dengan pusat pemerintahan, baik Ibu Kota  Jakarta maupun Provinsi Banten.

Dalam rangka mewujudkan pengembangan perumahan skala besar, Pemerintah Kabupaten Tangerang juga harus memiliki komitmen, peruntukkan lahan sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR), peraturan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP), serta peraturan yang mengharuskan pengembang membebaskan 50 persen dari total lahan yang dibutuhkan.
Bupati Tangerang A Zaki Iskandar mengatakan wilayahnya siap untuk mendukung pengembangan Jakarta hingga ke Kabupaten Tangerang. ANTARA/ Ganet


Menanggapi fenomena tersebut, Bupati Tangerang, A Zaki Iskandar,  menyatakan dengan jumlah penduduk yang mencapai empat juta jiwa tentunya kehadiran hunian yang layak menjadi suatu keharusan.

Meskipun di beberapa daerah di Tangerang termasuk daerah maju dengan berbagai penataan kota, namun masih ada daerah, khususnya pesisir pantai,  yang juga perlu mendapat dukungan.

Zaki menyatakan siap untuk mengembangkan hunian skala besar di wilayahnya guna mengantisipasi perkembangan wilayah Jakarta, khususnya ke arah barat. Kesiapan itu di antaranya dalam bentuk penyediaan air baku bagi penghuni.

Minat tinggi

Terkait hadirnya kota satelit di Kabupaten Tangerang, Direktur Paramount Land, M Nawawi membenarkan tingginya minat masyarakat terhadap hunian skala kota lantaran dari segi harga masih terjangkau juga semua kebutuhan sudah terpenuhi dengan ragam fasilitas yang tersedia.

Pengembang Kota Mandiri Paramount Petals ini menyebutkan, berdasarkan data pembeli hampir 70 persen berasal dari usia produktif 25 hingga 40 tahun dengan domisili sebelumnya di Tangerang Raya dan Jakarta Barat.

Menurut Nawawi, mayoritas pembeli menyatakan keinginan membeli hunian karena ada kepastian serah terima, lahan dalam kondisi aman bebas sengketa, serta lingkungan sudah hidup dalam arti sudah ada penghuni, tersedia fasilitas kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.

Sedangkan hal lain yang menjadi nilai tambah di kota satelit adalah akses menuju kawasan, yakni  transportasi umum, jalan lingkungan, jalan arteri, serta jalan bebas hambatan.

Tak hanya itu, antara kota satelit satu dengan lainnya harus saling terkoneksi, dengan tujuan agar bisa saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan penghuninya.

Dengan pengembangan kota mandiri seluas 300 hektare misalnya, tentu pembangunannya harus dirancang dengan cermat,  memperhatikan minat dan kebutuhan penghuni serta yang lebih penting kerja sama dengan mitra.

Selanjutnya, patut diperhatikan yang menjadikan kota satelit itu bisa hidup. Kunci dari pertumbuhan kota mandiri adalah adanya penduduk yang beraktivitas di dalamnya, sehingga membuat sektor ekonomi juga ikut berkembang.

Dengan demikian, untuk mewujudkan hunian yang tertata, tidak lagi menjadi hal yang sulit. Kolaborasi menjadi kunci untuk menjadikan suatu wilayah dapat sebagai  mendukung pengembangan Jakarta.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2022