Jakarta (ANTARA) - Penyelenggaraan Temu Inovasi yang ke-14 bertujuan sebagai ajang bertukar pengetahuan dan pengalaman untuk mendorong transformasi pembelajaran di sekolah.

"Selain itu, tujuan studi ini adalah agar semua anak di Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapat pengalaman dan kesempatan belajar yang sama, serta membangun kapasitas dan keterampilan-keterampilan dasar yang memampukan mereka untuk menjadi manusia mandiri di masa depan," ujar Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, dalam sambutannya pada acara Temu Inovasi di Jakarta, Selasa.

Acara tersebut mengusung tema “Transformasi Pembelajaran: Sampai di Mana Perjalanan Kita?".

“Kecakapan adalah menjadi dasar kelulusan, tujuan pembelajaran. Konten adalah sarana. Yang penting dalam pendidikan adalah semua anak belajar dan menjadi mandiri,” kata Anindito.

Direktur Program INOVASI, Mark Heyward memaparkan hasil Studi Kesenjangan Pembelajaran. Studi yang dilaksanakan oleh BSKAP dan INOVASI tersebut dimulai sejak 2020. Sebanyak 18.370 siswa kelas 1 hingga 3 sekolah dasar dengan proporsi gender setara dari 612 sekolah yang dipilih secara acak berpartisipasi di dalam studi itu.

Mereka berasal dari 11 kabupaten INOVASI di provinsi Jawa Timur, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Untuk memberikan cakupan dan keseimbangan dalam seluruh aspek sistem pendidikan Indonesia, ditambahkan pula delapan kabupaten non-mitra INOVASI, yakni dari provinsi Jambi, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan dan Maluku Utara.

Temuan studi tersebut dilaporkan dalam tiga seri. Di seri pertama yang berjudul "Studi Kesenjangan Pembelajaran – 1, Tak Sekedar Huruf dan Angka: Pengaruh Pandemi Covid-19 dan Fondasi Dasar Literasi dan Numerasi", yang mana salah satu temuan utamanya adalah banyak siswa di Indonesia yang belum menguasai keterampilan dasar literasi dan numerasi. Padahal, siswa yang belum menguasai kemampuan dasar di jenjang tertentu akan semakin tertinggal di jenjang-jenjang berikutnya.

Kemudian, pada laporan seri kedua berjudul "Studi Kesenjangan Pembelajaran- Seri 2,Mereformasi Kurikulum Indonesia: Bagaimana Kurikulum Merdeka Mengatasi Learning Loss dan Meningkatkan Hasil Belajar dalam Literasi dan Numerasi", ada temuan terkait standar kurikulum nasional yang lebih tinggi dari laju kemampuan belajar siswa dan standar global. Untuk itu, reformasi kurikulum diperlukan karena kurikulum yang fokus terhadap kemampuan esensial berpotensi mengurangi menekan kehilangan hasil belajar (learning loss) selama pandemi.

Sementara pada seri ketiga yang berjudul "Studi Kesenjangan Pembelajaran – 3, Kesenjangan yang Kian Melebar: Dampak Pandemi COVID-19 pada Siswa dari Kelompok Paling Rentan di Indonesia", terungkap bahwa meskipun COVID-19 berdampak untuk semua siswa, siswa dari kelompok rentan cenderung paling terdampak. Siswa dengan multi kerentanan berpotensi memiliki hasil belajar lebih rendah. Siswa di pedesaan dan daerah terpencil lebih banyak yang memiliki performa literasi dan numerasi tingkat 1 sehingga tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum dibandingkan dengan siswa di perkotaan. Bagi kelompok siswa penyandang disabilitas, sebanyak 91 persen siswa laki-laki penyandang disabilitas di pedesaan tidak memenuhi tingkat keterampilan minimum, sementara jumlah siswa laki-laki penyandang disabilitas di perkotaan yang tidak memenuhi keterampilan minimum mencapai 82 persen.

Faktor lainnya adalah guru dan keluarga. Sebanyak 56 persen guru di pedesaan dan daerah terpencil merasa kurang percaya diri untuk menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ), sementara guru di perkotaan yang kurang percaya diri untuk melakukan PJJ hanya 37 persen. Dari sisi orang tua, orang tua siswa di perkotaan lebih terlibat dalam studi anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua di pedesaan dan daerah terpencil.

Mark mengatakan, studi menyimpulkan bahwa kurikulum yang berfokus pada kemampuan esensial (literasi dan numerasi) berpotensi mengurangi learning loss. Selain itu, kurikulum yang berfokus pada materi esensial juga berpotensi untuk mengurangi ketimpangan hasil belajar bagi kelompok rentan.

“Karakter kurikulum yang berpotensi meningkatkan hasil belajar siswa adalah kurikulum yang berfokus pada materi esensial dan memberikan ruang fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan anak,” kata Mark.

Berangkat dari temuan-temuan tersebut, ada sejumlah rekomendasi yang dirumuskan. Di level sistem dan kebijakan, perlu ada transformasi kurikulum, pengembangan kapasitas guru, serta perbaikan akses dan kualitas sumber daya pembelajaran dan infrastruktur. Di level sekolah, perlu ada penggunaan asesmen formatif, adaptasi pembelajaran sesuai dengan kemampuan siswa, serta memaksimalkan penggunaan sumber belajar seperti Platform Merdeka Mengajar (PMM) dan platform lokal yang tersedia. Lalu di level komunitas, perlu ada upaya untuk mengaktifkan komunitas praktisi seperti Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk pengembangan kapasitas guru, serta membangun dan memperkuat kolaborasi dengan masyarakat (orang tua, swasmitra pembangunan, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), perangkat desa, dan pihak relevan lainnya) dan entitas pendidikan terkait (Balai Penjamin Mutu Pendidikan (BPMP) dan Balai Guru Penggerak (BGP). ***3***

Baca juga: Program Kampus Mengajar dinilai sukses atasi kesenjangan pembelajaran
Baca juga: Peneliti: Hanya 31 persen siswa SD capai tingkat literasi baik
Baca juga: Pembelajaran yang fleksibel kejar ketertinggalan siswa

Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022