Makassar (ANTARA) - Saat berkunjung atau melintas di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, pemandangan pertama yang disuguhkan saat melintasi gerbang Selamat Datang di Bumi Turatea itu adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Punagaya berkapasitas 2x100 Megawatt (MW).

Pada sisi kanan ruas jalan akan tampak dari kejauhan PLTU Megaproyek 35.000 MW tengah beroperasi. Sesekali tampak asap tipis mengepul di cerobong perusahaan listrik itu.

Suasana di sekeliling PLTU hanya hamparan lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Di sudut lain di Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, terdapat petani jagung yang sudah melakoni profesi ini secara turun-temurun.

Saat musim panen, petani jagung di Desa Punagaya biasanya hanya menyisakan sampah bonggol jagung di sekitar lahan pertaniannya. Kemudian bonggol jagung itu dibakar, atau dibiarkan lapuk sendiri.

Menjelang pertengahan 2021, PLTU Punagaya menyalurkan bantuan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) ke Desa Punagaya, khususnya pada petani jagung, yang dinilai butuh inovasi dalam mengolah hasil panen.

Babak barupun dimulai kehidupan petani Punagaya dalam mengolah hasil tanaman palawija. Bonggol jagung yang biasanya dibuang setelah dipipil, baik manual maupun dengan teknologi sederhana, sejak saat itu mulai dikumpulkan dalam karung atau disimpan di suatu tempat yang dikenal dengan nama Bank Sampah Bonggol Jagung.

Melalui usaha kreatif pemanfaatan bonggol jagung tersebut sebagai bahan bakar pendamping atau pengganti bahan bakar batubara (co-firing), limbah bonggol jagung petani termanfaatkan untuk mendukung PLTU Punagaya agar operasionalnya lebih ramah lingkungan.

Daeng Gassing, salah seorang petani di Desa Punagaya, mengatakan sangat bersyukur karena limbah jagungnya selama ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Melalui mitra PLTU Punagaya selaku pengumpul dan pengolah, limbah bonggol jagung petani bernilai ekonomis. Bonggol jagung itu dapat ditukar bibit jagung dengan dua tongkol tanpa perlu lagi membeli di toko bibit.

Hal itu diakui pula salah satu mitra binaan PLTU Punagaya di kabupaten tetangga, yakni Kabupaten Takalar.

Menurut Kepala Desa Bontoloe H Amir Guliling di Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, petani di enam dusun dalam lingkup desa itu hanya membuang bonggol jagungnya seusai panen.

Namun sejak 2021, petani jagung di desanya yang memiliki enam dusun, sudah mengumpulkan bonggol jagung dan langsung dijemput untuk dikumpulkan di Bank Sampah Bonggol Jagung, sebelum pihak mitra PLTU Punagaya membawa ke pabrik untuk diolah lebih lanjut.

Menurut H Amir, pontensi jagung di Kabupaten Takalar sangat besar, rata-rata per hektare dapat menghasilkan 2 ton. Dari jumlah produksi tersebut, sekitar setengah ton adalah sampah bonggol jagung.

Edward, pemilik perusahaan pengelola bonggol jagung di Kabupaten Takalar, mengatakan rata-rata per hari pihaknya mengolah sekitar 20 ton bonggol jagung yang dikumpulkan dari petani untuk menjadi bahan bakar pengganti batubara (co-firing).

Menurut dia, hampir dua tahun terakhir pihaknya menyuplai bahan bakar dari bonggol jagung ke PLN Unit Pelaksana Pembangkitan (UPK) Punagaya untuk memenuhi Program co-firing PLN dalam mengurangi penggunaan batubara untuk operasional pembangkit listrik itu.

Untuk mengolah bahan baku bonggol jagung menjadi co-firing, Edward mengaku dibantu oleh 10 karyawan, dengan memberdayakan masyarakat setempat.

Para karyawan tersebut, juga diminta untuk memantau dan mencari potensi bonggol jagung yang ada di sekitar rumah masing-masing agar suplai bahan co-firing dapat berkesinambungan.

Dukungan masyarakat dan mitra agar bahan baku co-firing tetap ada dan berkesinambungan adalah bagian dari upaya PLN, khususnya UPK Punagaya, yang berupaya menuju energi ramah lingkungan di masa transisi energi.

Sementara berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki 253 PLTU hingga 20 April 2022. Dari jumlah tersebut, PLTU terbanyak berada di Kalimantan Timur.

Tentu ratusan PLTU itu, PLTU Punagaya satu di antaranya sudah mulai mencoba memasuki fase pengurangan penggunaan batubara, untuk mendukung penurunan emisi gas karbon.

Menurut Manager UPK Punagaya Yunan Kurniawan, UPK Punagaya memanfaatkan limbah domestik, berupa bonggol jagung, untuk penerapan Program Co-firing.

Dalam hal ini bonggol jagung diolah sedemikian rupa untuk dijadikan bahan campuran batubara dengan komposisi perbandingan 5:95.
Kunjungan tim PLN dan mitra ke Bank Sampah Cofiring Bori Matangkasa binaan PLN UPK Punagaya di Kecamatan Galesong, Kabutpaten Takalar, Sulsel. Antara/ Suriani Mappong
Jajaki potensi baru

Selain pemanfaatan bonggol jagung sebagai bahan bakar pengganti batubara untuk Program Co-firing, potensi komoditi dari tanaman lain terus dijajaki yang memungkinkan diolah secara berkesinambungan.

"Potensi lain yang dapat dikembangkan, misalnya sekam padi, sekam kayu, sisa-sisa kayu lapuk, ampas atau kulit kopi dapat diolah sebagai co-firing," kata Vice President Bioenergy PT PLN Anita Puspita Sari saat berkunjung ke Kabupaten Jeneponto dan Takalar.

Dari hasil pantauannya di kedua kabupaten tersebut, ia menilai potensi bonggol jagung masih dominan. Namun tidak menutup kemungkinan potensi lain, seperti ampas kopi di daerah sentra produksi kopi, seperti di Kecamatan Rumbia, Jeneponto, dan daerah lainnya yang tersebar di Sulsel, juga dapat dimanfaatkan.

Begitu pula dengan potensi ampas kelapa sawit di Kabupaten Luwu Utara dan sekitarnya, namun saat ini masih mempertimbangkan jarak atau biaya transportasi untuk dapat dimanfaatkan di PLTU Punagaya.

Menurut dia, PLTU Punagaya yang berkapasitas 2 x 100 Mega Watt (MW) merupakan salah satu PLTU dalam sistem kelistrikan Sulawesi Bagian Selatan yang menerapkan co-firing.

Yang jelas, kata Anita, potensi bahan bakar pengganti batubara terbuka luas, termasuk menjajaki pemanfaatan lahan tidur untuk menanam tanaman yang cepat berkembang, seperti lamtorogung, akasia, dan sebagainya.

Karena itu, PLN menggalang kemitraan dengan kementerian terkait dan jajarannya di tingkat provinsi hingga pemerintah kabupaten/kota, misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Untuk mewujudkan Program Co-firing menuju energi bersih di bumi Indonesia, hanya ada satu kata kunci, yakni kolaborasi. Semua pihak terkait harus saling mendukung dan bekerja sama untuk mendorong perusahaan penyedia energi listrik di negara ini ramah lingkungan.
Potensi komoditi kopi yang ampasnya dapat menjadi bahan bakar pengganti batubara untuk operasional PLTU sedang dijajaki pemanfaatannya di Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Sulsel. Antara/ Suriani Mappong


​​​​​​​

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022